Selasa, 24 November 2015

Adakah mantan sahabat?

Senja menjemput, dengan lantang bel berbunyi tiga kali tanda kelas telah usai. Dengan bergegas, aku melangkah dan meninggalkan ruangan kelas. Berpamitan pada teman-teman sekelas lalu bergegas menuju ruang klub musik dilantai bawah. Aku yang masih kecewa pada nilai matematika ku yang turun begitu jauh, juga ucapan bu ani yang masih terdengar jelas di telingaku “ya, kenapa nilai kamu sampe begini sih? ibu kecewa sama kamu, kamu ko mau kalah sama Fifi, dia dapet 95 loh. Kamu kan udah kelas tiga ya, lepaslah klub musikmu itu. Kan masih ada yang lain, adik-adik kelasmu. Memangnya menurutmu mana yang lebih penting, belajarmu dikelas atau klub musikmu?”. Aku terdiam saat beliau berkata demikian, aku memang kecewa dengan nilai matematikaku, tapi mungkin ini yang harus menjadi perbaikan buatku, aku harus membagi waktuku dengan baik. Tidak seperti kemarin, pelajaran matematika harus ku tinggalkan karena rapat persiapan pentas seni bulan depan. Juga tidak seperti kemarin, aku yang seharusnya belajar untuk ulangan harian matematika esok hari malah tertidur kelelahan karena dua hari ini harus menyelesaikan proposal pengajuan dana untuk acara itu. Sesampainya di depan ruang klub music, aku bertemu risa,arin amel alfi juga safa yang juga anggota klub music. Sudah tiga tahun ini kami berjuang diklub music ini, klub inilah yang memperkenalkan kami, menyatukan kami. Klub inilah yang membuat kami dulu bagai keluarga, terasa tiada penghalang. Apalagi antara aku dan risa, dulu dia bahkan bagai bisa membaca perasaanku, yang paling tau tentang aku. Sahabat terbaikku.
“assalamu’alaikum..” sapaku saat masuk ke ruang kecil bercat biru, dan dipenuhi dengan foto-foto kebanggaan kami itu.
“wa’alaikumussalam..” ucap yang mendengar hampir berbarengan.
Aku duduk disebelah risa, ruang klub sudah ramai. kulihat pak aldi, yang merupakan pelatih sekaligus pembimbing klub ini juga sudah duduk dan bersiap memulai rapat. Rapat berjalan dengan baik, aku yang masih teringat ucapan bu ani tidak begitu baik mengikuti rapat. Aku masih melamun, hingga suara risa mengagetkanku.
“ya, ya, ya, heyy.. pak aldi manggil kamu tuh dari tadi.”
aku terperangah, kaget. Terlihat kebingungan.
“ada apa?” tanyaku pelan pada risa.
“pa……” suara risa terputus. Terpotong.
“yaya, dari tadi nyawa kamu kemana sih? Saya manggil kamu sepuluh kali. Kamu ngelamunin apa? Sekarang bukan waktunya ngelamun! Gimana acara ini mau sukses kalo panitianya ngelamun mulu! Coba, mau kaya gini aja kalian?! ”
Aku tertunduk, yang lain juga terdiam. Sepi.
“yaya, dua hari ini saya suruh kamu apa? Ngelamun?!”
“bukan pak…”
“lalu apa?”
“buat proposal pengajuan dana acara kita pak,”
“terus udah selesai?”
“udah pak, ini.” Aku menyerahkan seberkas kertas bersampul biru. Masih menunduk.
Pak  aldi mengambilnya sedikit kasar, lalu beliau membacanya. Mengambil sebuah spidol dan mulai mencoret-coret proposal itu, berarti banyak sekali kesalahan. Aku terdiam, masih menunduk.
“yaya, kamu tiga tahun sekolah dapet apa? Buat proposal aja kaya gini. Apa bu yuni ga ngajarin kamu gimana caranya bikin proposal? Terus apa ini, susunannya saja salah. Stempelnya lagi, bukan yang ini yaya, kamu kan tau kita udah ganti lambang, udah ganti stempel. Bapak kira kau beda sama yang lain, padahal sama aja. Cobalah lebih teliti lagi. Dan sekarang, mana ketua pelaksana kalian? Belum datang? Kalian tuh yah, sebenernya niat ga sih ngadain acara ini? Kalo kalian ga mampu, kalo kalian males-malesan gini, lebih baik kalian tidak mencantumkan acara ini di program kerja kalian. Buat lagi, pokonya bapak gamau tau besok harus sudah bener!”
Proposal itu melayang, bruk…. Mengenai tanganku. Selanjutnya pak aldi keluar ruangan, melangkah dengan nada kesal. Seluruh anggota klub terdiam, aku menunduk.
Aku keluar ruangan, sekolah masih ramai. aku berlari secepat yang aku bisa, tak peduli seberapa banyak murid yang menatapku aneh. Tak peduli seberapa banyak murid yang ku tabrak karena terburu-buru. Aku menuju kamar mandi. Mencari tempat tersepi. Ada yang ingin ku tumpahkan, air mata ini. aku terduduk ditangga kamar mandi. Tubuhku melemah, air mataku tumpah. Terdengar suara langkah kaki yang cepat, ada beberapa orang yang mengikutiku. Safa,risa,arin,amel dan alfi menghampiriku. Aku masih menangis, wajahku ku tutup dengan kain kerudungku. Arin dan safa duduk disebelahku, memelukku. Aku masih hanyut dalam tangisku, air mata ini, bukan hanya karena sikap pak aldi, bukan hanya karena nilai matematika ku, bukan hanya karena kekecewaan bu ani. Tapi saat ini, hatiku bahkan lebih sakit dari yang seharusnya. Ada hal yang bahkan menusuk lebih dalam. Ada hal yang bahkan menggores lebih besar. Perih.
Dalam tangis, aku kembali terbayang saat-saat dimana aku, risa, safa, dan arin adalah satu kesatuan yang erat. Aku kembali teringat tentang masa lalu bahwa risa, arin dan safa adalah sahabat yang paling mengerti tentang diriku, sahabat yang paling mengerti tentang seorang ‘yaya’. Hatiku bahkan semakin teriris saat sayup-sayup ku dengar risa dan alfi menyapa seseorang, entah siapa. Lalu tertawa, sibuk bercanda. Dalam tangis, aku kembali merasakan luka yang sejauh ini telah ku kubur dalam-dalam, bahwa kini dan dulu adalah berbeda. Dan aku harus menerimanya. Lalu bagaimana rasanya? Saat memang, mereka yang dulu adalah orang yang paling mengerti, yang dulu paling mau mendengarkan. Yang dulu paling paham, yang dulu paling erat memeluk.. kini mengambang, menjauh pergi.
Saat air mata tiada tertahan, saat hati kembali dirundung lara. Kehadiran mereka, yang dulu menjadi pelipur, kini terasa hambar. Malah semakin membuat luka ini semakin perih, semakin dalam.
Secepat inikah, masa tentang kita? Tentang hari dimana kita sengaja meluangkan waktu untuk berempat saja, tentang hari dimana aku dan kalian adalah satu dan saling mengerti, saling memahami. Serapuh inikah ikatan diantara kita? Kita, yang akan kembali tersenyum tak peduli sesakit apapun luka yang menyapa kita. Jangankan sekedar sikap pak aldi, jangankan sekedar nilaiku yang turun. Kita, yang akan temukan bersama solusi terbaik dari setiap masalah. Kita, yang akan selalu bisa membuat senyuman ini kembali setelah tangis yang pedih. Kita, yang selalu merasa setiap pelukan erat ini adalah hal yang paling melegakan, pundak ini adalah hal yang paling menguatkan. Kita, yang akan menghadapi setiap masalah bersama-sama. Kita, yang dulu bahkan akan bahagia saat melihat satu diantara kita bahagia. Kita, yang dulu bahkan akan menangis bersama, saat padahal hanya satu saja diantara kita tersakiti karena sesuatu. Kita, yang dulu saling bercengkerama. Saling berbagi mimpi, bersama-sama merangkai harap. Menggapai mimpi. Kita, yang dulu bahkan menjadi lupa bagaimana berpisah. Kita, yang dulu saling merindu. Kita, yang dulu saling bahu membahu, saling menasehati. Canda tawa yang indah.
Tapi itu dulu. Dulu yang indah. Dulu saat aku dan kalian belum tau apa itu cinta. Dulu, saat aku dan kalian masih saling memahami. Masih saling terbuka, tak ada persaingan, tak ada rahasia. ‘Dulu’ yang selalu mengganggu, yang entah harus ku simpan dengan baik sebagai kenangan manis atau malah harus ku hempas hingga tak teringat lagi. Tapi yang pasti, kenangan ini.. selalu ku rasa perih saat ku ingat lagi, saat ku sentuh lagi setiap sisi-sisi yang indah itu.
Dalam tangis, aku teringat kembali saat pertama kali ku temukan waktu dimana satu dari kalian tak lagi memiliki waktu untuk bersama. Saat ada hal yang lebih penting dari kita yang membuatnya tak lagi membuat kita penting. Saat cinta menyapa hatinya, dan membuatnya jauh dari kita. Saat cinta menyapa hatinya, dan membuatnya sibuk dengan telponnya bahkan saat sedang bersama kita. Saat cinta menyapa hatinya, dan membuatnya lupa pada kita.
Dalam tangis, aku masih mengingat waktu saat hanya kita bertiga yang bertahan, masih punya waktu untuk bersama. Merasa ada yang kurang, satu dari kita pergi entah kemana. Saat kita bertiga menyadari bahwa waktu terasa lamban berjalan, ternyata setiap detiknya adalah langkah yang mebuat dia jauh dan semakin jauh. Hingga hilang, tak berjejak. Kini kita tinggal bertiga. Tak ada lagi empat yang indah. Kita bertiga yang berusaha melepas dia yang telah memilih jalan hidupnya sendiri. Kita bertiga yang berusaha melupakan dia yang kini telah sibuk dengan dunia barunya, kini sibuk dengan kebahagiaan barunya. Yang mungkin lebih indah dari kita.
Dalam tangis, aku masih mengingat waktu dimana kita bertiga mencoba menghiasi waktu dengan kebersamaan. Berusaha melupakan tempat yang kosong itu, berusaha merangkai kisah baru, meski hanya bertiga. Hingga akhirnya kita sadar, empat tetap empat. Kita tidak bisa menguranginya, kita tidak bisa dengan mudah menggantinya. Satu bangku kosong itu harus terisi kembali.
Aku masih ingat waktu saat kita kembali berusaha membawanya kembali, dalam diam berkata padanya bahwa sungguh empat tetap empat.
Dalam tangis, aku juga masih ingat waktu dimana kita bertiga sadar bahwa dunia barunya memang lebih indah baginya, dan kita tak mampu menariknya kembali. Tak ada celah kosong. Tak ada lagi harapan.
Aku masih ingat dimana saat itulah kita bertiga juga renggang, kita yang sama-sama terluka. Sama-sama sakit. Tak mampu mempertahankan tiga yang tersisa, hingga tinggal dua yang bergantian. Aku dan safa, safa dan arin, arin dan aku.
Tak ada lagi tiga. Tak ada lagi empat.
Yang ada hanya dua, dua yang tak pasti. Hingga akhirnya, yang dua itu juga terhempas, dunia terasa jauh padahal jarak ini dekat. Kita bertiga yang sama-sama terluka. Sama sama tersakiti. Memilih menjadi sendiri. Mengambil jalannya masing-masing. Berusaha membuka lembaran baru, melupakan rasa sakit ini.
Dan saat ini, Meski kita bersama, berkumpul lagi. Sungguh, masa-masa itu memang telah lalu. Ikatan itu memang telah hilang. Tak ada lagi pelukan yang melegakan, pundak yang menguatkan. Senyuman yang indah, canda tawa yang sempurna.

Kawan, apakah arti sahabat? Apakah secepat ini?
Iya, aku memang tak akan mati hanya karena semua ini hancur.
Aku memang tak akan mati hanya karena aku kini tak lagi beriringan bersama kalian.
Aku memang tak akan mati hanya karena aku dan kalian kini tak lagi bersama.

Tapi luka ini, membuat aku tak lagi sempurna saat berbahagia.
Membuatku harus bangkit sendiri dari keterpurukan tanpa kalian.
Membuatku harus menghapus sendiri airmataku.
Luka ini, yang membuatku tak lagi sempurna untuk berdiri.


Aku membuka mataku, perlahan menghapus sendiri airmataku. Berusaha menatap hatiku, dan berkata ‘luka ini akan sembuh. Aku akan selalu bahagia.” Lalu tersenyum, dengan senyum yang sempurna,tanpa menatap siapa yang ada disampingku. aku akan selalu bahagia,tanpa menatap siapa yang ada disekelilingku. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar