Senja menjemput,
dengan lantang bel berbunyi tiga kali tanda kelas telah usai. Dengan bergegas,
aku melangkah dan meninggalkan ruangan kelas. Berpamitan pada teman-teman
sekelas lalu bergegas menuju ruang klub musik dilantai bawah. Aku yang masih
kecewa pada nilai matematika ku yang turun begitu jauh, juga ucapan bu ani yang
masih terdengar jelas di telingaku “ya, kenapa nilai kamu sampe begini sih? ibu
kecewa sama kamu, kamu ko mau kalah sama Fifi, dia dapet 95 loh. Kamu kan udah
kelas tiga ya, lepaslah klub musikmu itu. Kan masih ada yang lain, adik-adik
kelasmu. Memangnya menurutmu mana yang lebih penting, belajarmu dikelas atau
klub musikmu?”. Aku terdiam saat beliau berkata demikian, aku memang kecewa
dengan nilai matematikaku, tapi mungkin ini yang harus menjadi perbaikan
buatku, aku harus membagi waktuku dengan baik. Tidak seperti kemarin, pelajaran
matematika harus ku tinggalkan karena rapat persiapan pentas seni bulan depan.
Juga tidak seperti kemarin, aku yang seharusnya belajar untuk ulangan harian
matematika esok hari malah tertidur kelelahan karena dua hari ini harus
menyelesaikan proposal pengajuan dana untuk acara itu. Sesampainya di depan
ruang klub music, aku bertemu risa,arin amel alfi juga safa yang juga anggota
klub music. Sudah tiga tahun ini kami berjuang diklub music ini, klub inilah
yang memperkenalkan kami, menyatukan kami. Klub inilah yang membuat kami dulu
bagai keluarga, terasa tiada penghalang. Apalagi antara aku dan risa, dulu dia
bahkan bagai bisa membaca perasaanku, yang paling tau tentang aku. Sahabat
terbaikku.
“assalamu’alaikum..”
sapaku saat masuk ke ruang kecil bercat biru, dan dipenuhi dengan foto-foto
kebanggaan kami itu.
“wa’alaikumussalam..”
ucap yang mendengar hampir berbarengan.
Aku duduk disebelah
risa, ruang klub sudah ramai. kulihat pak aldi, yang merupakan pelatih
sekaligus pembimbing klub ini juga sudah duduk dan bersiap memulai rapat. Rapat
berjalan dengan baik, aku yang masih teringat ucapan bu ani tidak begitu baik
mengikuti rapat. Aku masih melamun, hingga suara risa mengagetkanku.
“ya, ya, ya, heyy..
pak aldi manggil kamu tuh dari tadi.”
aku terperangah, kaget. Terlihat kebingungan.
aku terperangah, kaget. Terlihat kebingungan.
“ada apa?” tanyaku
pelan pada risa.
“pa……” suara risa
terputus. Terpotong.
“yaya, dari tadi nyawa kamu kemana sih? Saya manggil kamu sepuluh kali. Kamu ngelamunin apa? Sekarang bukan waktunya ngelamun! Gimana acara ini mau sukses kalo panitianya ngelamun mulu! Coba, mau kaya gini aja kalian?! ”
“yaya, dari tadi nyawa kamu kemana sih? Saya manggil kamu sepuluh kali. Kamu ngelamunin apa? Sekarang bukan waktunya ngelamun! Gimana acara ini mau sukses kalo panitianya ngelamun mulu! Coba, mau kaya gini aja kalian?! ”
Aku tertunduk, yang
lain juga terdiam. Sepi.
“yaya, dua hari ini
saya suruh kamu apa? Ngelamun?!”
“bukan pak…”
“lalu apa?”
“buat proposal
pengajuan dana acara kita pak,”
“terus udah
selesai?”
“udah pak, ini.” Aku
menyerahkan seberkas kertas bersampul biru. Masih menunduk.
Pak aldi mengambilnya sedikit kasar, lalu beliau
membacanya. Mengambil sebuah spidol dan mulai mencoret-coret proposal itu,
berarti banyak sekali kesalahan. Aku terdiam, masih menunduk.
“yaya, kamu tiga
tahun sekolah dapet apa? Buat proposal aja kaya gini. Apa bu yuni ga ngajarin
kamu gimana caranya bikin proposal? Terus apa ini, susunannya saja salah.
Stempelnya lagi, bukan yang ini yaya, kamu kan tau kita udah ganti lambang,
udah ganti stempel. Bapak kira kau beda sama yang lain, padahal sama aja. Cobalah
lebih teliti lagi. Dan sekarang, mana ketua pelaksana kalian? Belum datang?
Kalian tuh yah, sebenernya niat ga sih ngadain acara ini? Kalo kalian ga mampu,
kalo kalian males-malesan gini, lebih baik kalian tidak mencantumkan acara ini
di program kerja kalian. Buat lagi, pokonya bapak gamau tau besok harus sudah
bener!”
Proposal itu
melayang, bruk…. Mengenai tanganku. Selanjutnya pak aldi keluar ruangan,
melangkah dengan nada kesal. Seluruh anggota klub terdiam, aku menunduk.
Aku keluar ruangan,
sekolah masih ramai. aku berlari secepat yang aku bisa, tak peduli seberapa banyak
murid yang menatapku aneh. Tak peduli seberapa banyak murid yang ku tabrak
karena terburu-buru. Aku menuju kamar mandi. Mencari tempat tersepi. Ada yang
ingin ku tumpahkan, air mata ini. aku terduduk ditangga kamar mandi. Tubuhku
melemah, air mataku tumpah. Terdengar suara langkah kaki yang cepat, ada
beberapa orang yang mengikutiku. Safa,risa,arin,amel dan alfi menghampiriku.
Aku masih menangis, wajahku ku tutup dengan kain kerudungku. Arin dan safa
duduk disebelahku, memelukku. Aku masih hanyut dalam tangisku, air mata ini, bukan
hanya karena sikap pak aldi, bukan hanya karena nilai matematika ku, bukan
hanya karena kekecewaan bu ani. Tapi saat ini, hatiku bahkan lebih sakit dari
yang seharusnya. Ada hal yang bahkan menusuk lebih dalam. Ada hal yang bahkan
menggores lebih besar. Perih.
Dalam tangis, aku
kembali terbayang saat-saat dimana aku, risa, safa, dan arin adalah satu
kesatuan yang erat. Aku kembali teringat tentang masa lalu bahwa risa, arin dan
safa adalah sahabat yang paling mengerti tentang diriku, sahabat yang paling
mengerti tentang seorang ‘yaya’. Hatiku bahkan semakin teriris saat sayup-sayup
ku dengar risa dan alfi menyapa seseorang, entah siapa. Lalu tertawa, sibuk
bercanda. Dalam tangis, aku kembali merasakan luka yang sejauh ini telah ku
kubur dalam-dalam, bahwa kini dan dulu adalah berbeda. Dan aku harus
menerimanya. Lalu bagaimana rasanya? Saat memang, mereka yang dulu adalah orang
yang paling mengerti, yang dulu paling mau mendengarkan. Yang dulu paling
paham, yang dulu paling erat memeluk.. kini mengambang, menjauh pergi.
Saat air mata tiada
tertahan, saat hati kembali dirundung lara. Kehadiran mereka, yang dulu menjadi
pelipur, kini terasa hambar. Malah semakin membuat luka ini semakin perih,
semakin dalam.
Secepat inikah, masa
tentang kita? Tentang hari dimana kita sengaja meluangkan waktu untuk berempat
saja, tentang hari dimana aku dan kalian adalah satu dan saling mengerti,
saling memahami. Serapuh inikah ikatan diantara kita? Kita, yang akan kembali
tersenyum tak peduli sesakit apapun luka yang menyapa kita. Jangankan sekedar
sikap pak aldi, jangankan sekedar nilaiku yang turun. Kita, yang akan temukan
bersama solusi terbaik dari setiap masalah. Kita, yang akan selalu bisa membuat
senyuman ini kembali setelah tangis yang pedih. Kita, yang selalu merasa setiap
pelukan erat ini adalah hal yang paling melegakan, pundak ini adalah hal yang
paling menguatkan. Kita, yang akan menghadapi setiap masalah bersama-sama. Kita,
yang dulu bahkan akan bahagia saat melihat satu diantara kita bahagia. Kita,
yang dulu bahkan akan menangis bersama, saat padahal hanya satu saja diantara
kita tersakiti karena sesuatu. Kita, yang dulu saling bercengkerama. Saling
berbagi mimpi, bersama-sama merangkai harap. Menggapai mimpi. Kita, yang dulu
bahkan menjadi lupa bagaimana berpisah. Kita, yang dulu saling merindu. Kita,
yang dulu saling bahu membahu, saling menasehati. Canda tawa yang indah.
Tapi itu dulu. Dulu
yang indah. Dulu saat aku dan kalian belum tau apa itu cinta. Dulu, saat aku
dan kalian masih saling memahami. Masih saling terbuka, tak ada persaingan, tak
ada rahasia. ‘Dulu’ yang selalu mengganggu, yang entah harus ku simpan dengan
baik sebagai kenangan manis atau malah harus ku hempas hingga tak teringat
lagi. Tapi yang pasti, kenangan ini.. selalu ku rasa perih saat ku ingat lagi,
saat ku sentuh lagi setiap sisi-sisi yang indah itu.
Dalam tangis, aku
teringat kembali saat pertama kali ku temukan waktu dimana satu dari kalian tak
lagi memiliki waktu untuk bersama. Saat ada hal yang lebih penting dari kita
yang membuatnya tak lagi membuat kita penting. Saat cinta menyapa hatinya, dan
membuatnya jauh dari kita. Saat cinta menyapa hatinya, dan membuatnya sibuk
dengan telponnya bahkan saat sedang bersama kita. Saat cinta menyapa hatinya,
dan membuatnya lupa pada kita.
Dalam tangis, aku
masih mengingat waktu saat hanya kita bertiga yang bertahan, masih punya waktu
untuk bersama. Merasa ada yang kurang, satu dari kita pergi entah kemana. Saat
kita bertiga menyadari bahwa waktu terasa lamban berjalan, ternyata setiap
detiknya adalah langkah yang mebuat dia jauh dan semakin jauh. Hingga hilang,
tak berjejak. Kini kita tinggal bertiga. Tak ada lagi empat yang indah. Kita
bertiga yang berusaha melepas dia yang telah memilih jalan hidupnya sendiri.
Kita bertiga yang berusaha melupakan dia yang kini telah sibuk dengan dunia
barunya, kini sibuk dengan kebahagiaan barunya. Yang mungkin lebih indah dari
kita.
Dalam tangis, aku
masih mengingat waktu dimana kita bertiga mencoba menghiasi waktu dengan
kebersamaan. Berusaha melupakan tempat yang kosong itu, berusaha merangkai
kisah baru, meski hanya bertiga. Hingga akhirnya kita sadar, empat tetap empat.
Kita tidak bisa menguranginya, kita tidak bisa dengan mudah menggantinya. Satu
bangku kosong itu harus terisi kembali.
Aku masih ingat
waktu saat kita kembali berusaha membawanya kembali, dalam diam berkata padanya
bahwa sungguh empat tetap empat.
Dalam tangis, aku
juga masih ingat waktu dimana kita bertiga sadar bahwa dunia barunya memang
lebih indah baginya, dan kita tak mampu menariknya kembali. Tak ada celah
kosong. Tak ada lagi harapan.
Aku masih ingat
dimana saat itulah kita bertiga juga renggang, kita yang sama-sama terluka.
Sama-sama sakit. Tak mampu mempertahankan tiga yang tersisa, hingga tinggal dua
yang bergantian. Aku dan safa, safa dan arin, arin dan aku.
Tak ada lagi tiga.
Tak ada lagi empat.
Yang ada hanya dua,
dua yang tak pasti. Hingga akhirnya, yang dua itu juga terhempas, dunia terasa
jauh padahal jarak ini dekat. Kita bertiga yang sama-sama terluka. Sama sama
tersakiti. Memilih menjadi sendiri. Mengambil jalannya masing-masing. Berusaha
membuka lembaran baru, melupakan rasa sakit ini.
Dan
saat ini, Meski kita bersama, berkumpul lagi. Sungguh, masa-masa itu memang
telah lalu. Ikatan itu memang telah hilang. Tak ada lagi pelukan yang
melegakan, pundak yang menguatkan. Senyuman yang indah, canda tawa yang
sempurna.
Kawan,
apakah arti sahabat? Apakah secepat ini?
Iya,
aku memang tak akan mati hanya karena semua ini hancur.
Aku
memang tak akan mati hanya karena aku kini tak lagi beriringan bersama kalian.
Aku
memang tak akan mati hanya karena aku dan kalian kini tak lagi bersama.
Tapi
luka ini, membuat aku tak lagi sempurna saat berbahagia.
Membuatku
harus bangkit sendiri dari keterpurukan tanpa kalian.
Membuatku
harus menghapus sendiri airmataku.
Luka
ini, yang membuatku tak lagi sempurna untuk berdiri.
Aku
membuka mataku, perlahan menghapus sendiri airmataku. Berusaha menatap hatiku,
dan berkata ‘luka ini akan sembuh. Aku akan selalu bahagia.” Lalu tersenyum,
dengan senyum yang sempurna,tanpa menatap siapa yang ada disampingku. aku akan
selalu bahagia,tanpa menatap siapa yang ada disekelilingku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar