Selasa, 28 Februari 2017

PERKEMBANGAN KEHIDUPAN SOSIAL POLITIK DI INDONESIA ABAD KE 19

PERKEMBANGAN KEHIDUPAN SOSIAL POLITIK
DI INDONESIA ABAD KE 19
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia Dosen Pengampu : Ana Nurhasanah, M.Pd.















Disusun oleh,
Kelompok 2 :
Nuhiyah
Neni Nur’aeni Siregar
Rafli Maulana
Fajar Putro S

2288150010
2288150012
22881500
2288150036









JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
OKTOBER, 2016

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Segala puji bagi Allah karena telah memberikan limpahan nikmat dan karuniaNya, Sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan Makalah “Perkembangan Kehidupan Sosial Politik di Indonesia Abad Ke 19” ini. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan pada junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW yang kita nantikan syafa’atnya di yaumul akhir nanti.
Penyusunan makalah  ini didasari pada tinjauan pustaka.  Makalah  ini disusun dalam rangka untuk menyelesaikan tugas Mata Kuliah Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia. Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada Ibu Ana Nurhasanah, M.Pd. selaku Dosen Mata Kuliah Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia  dan semua pihak yang telah memberikan bantuannya sehingga makalah ini dapat terselesaikan.   
Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Oleh karena itu, Kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
                            
Serang,   Oktober  2016


Penyusun





i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1              Latar Belakang............................................................................................... 1
1.2              Rumusan Masalah........................................................................................... 1
1.3              Tujuan............................................................................................................. 1

BAB II KAJIAN PUSTAKA.................................................................................. 2

BAB III PEMBAHASAN
3.1              Politik Kolonial Konservatif (1800 -1848)..................................................... 5
3.2              Cultuurstelsel (1830 – 1870)........................................................................... 7
3.3              Permulaan Politik Kolonial Liberal (1850 – 1870)......................................... 8
3.4              Dari Politik Kolonial Ke Politik Etis (1870 – 1900)..................................... 10
3.5              Menjelang Politik Etis (1900)....................................................................... 13

BAB III KESIMPULAN....................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 18


















ii

BAB I
PENDAHULUAN
1.1              Latar Belakang
Politik Imperialisme yang dijalankan Belanda di Indonesia berlansung selama periode tahun 1850 hingga 1900. “Imperialisme” berarti pengluasan kontrol politik ke daerah seberang atau dengan kata lain ekspansi kolonial. Tujuannya adalah untuk mencari keuntungan, ekonomis terutama, dari tanah jajahan bagi perindustrian dan pendapatan negara Belanda. Politik Imperialisme itu terdiri atas: Politik Kolonial Konservatif (1800-1848), Politik Kolonial Liberal (1850-1870), dan Politik Etis (± 1900).
1.2              Rumusan Masalah
1.         Bagaimana Politik Kolonial Konservatif yang berkembang di Indonesia pada tahun 1800 -1848?
2.         Bagaimana Cultuurstelsel yang diterapkan di Indonesia pada tahun 1830 – 1870?
3.         Bagaimana Permulaan Politik Kolonial Liberal di Indonesia pada tahun 1850 – 1870?
4.         Bagaimana proses peralihan dari Politik Kolonial ke Politik Etis di Indonesia pada tahun 1870 – 1900?
5.         Bagaimana proses menjelang Politik Etis di Indonesia?
1.3              Tujuan
1.      Untuk mengetahui Politik Kolonial Konservatif yang berkembang di Indonesia pada tahun 1800 -1848
2.      Untuk mengetahui Cultuurstelsel yang diterapkan di Indonesia pada tahun 1830 – 1870
3.      Untuk mengetahui Permulaan Politik Kolonial Liberal di Indonesia pada tahun 1850 – 1870
4.      Untuk mengetahui proses perubahan dari Politik Kolonial ke Politik Etis di Indonesia pada tahun 1870 – 1900
5.      Untuk mengetahui proses menjelang Politik Etis di Indonesia


BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1.            Latar belakang datangnya Bangsa Belanda ke Indonesia
Sebelum datang ke Indonesia, para pedagang Belanda membeli rempah-rempah di Lisabon (ibu kota Portugis). Pada waktu itu Belanda masih berada di bawah penjajahan Spanyol. Mulai tahun 1585, Belanda tidak lagi mengambil rempah-rempah dari Lisabon karena Portugis dikuasai oleh Spanyol. Dengan putusnya hubungan perdagangan rempah-rempah antara Belanda dan Spanyol mendorong bangsa Belanda untuk mengadakan penjelajahan samudra.
Pada bulan April 1595, Belanda memulai pelayaran menuju Nusantara dengan empat buah kapal di bawah pimpinan Cornelis  de Houtman. Dalam pelayarannya menuju ke timur, Belanda menempuh rute Pantai Barat Afrika –Tanjung Harapan–Samudra Hindia–Selat Sunda–Banten.
Pada saat itu Banten berada di bawah pemerintahan Maulana Muhammad (1580–1605) Kedatangan rombongan Cornelis de Houtman, pada mulanya diterima baik oleh masyarakat Banten dan juga diizinkan untuk berdagang di Banten.
Namun, karenanya sikap yang kurang baik sehingga orang Belanda kemudian diusir dari Banten. Selanjutnya, orang-orang Belanda meneruskan perjalanan ke timur akhirnya sampai di Bali.
Rombongan kedua dari Negeri Belanda di bawah pimpinan Jacob van Neck dan Van Waerwyck, dengan delapan buah kapalnya tiba di Banten pada bulan November 1598. Pada saat itu hubungan Banten dengan Portugis sedang memburuk sehingga kedatangan bangsa Belanda diterima dengan baik. Sikap Belanda sendiri juga sangat hati-hati dan pandai mengambil hati para penguasa Banten sehingga tiga buah kapal mereka penuh dengan muatan rempah-rempah (lada) dan dikirim ke Negeri Belanda, sedangkan lima buah kapalnya yang lain menuju ke Maluku.
2.2.             VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie)
Adalah para pedagang Inggris yang memulai mendirikan perusahaan dagang di Asia pada 31 Desember 1600 yang dinamakan The Britisch East India Company dan berpusat di Calcutta. Kemudian Belanda menyusul tahun 1602 dan Prancis pun tak mau ketinggalan dan mendirikan French East India Company tahun 1604.
Pada 20 Maret 1602, para pedagang Belanda mendirikan Verenigde Oost-Indische Compagnie - VOC (Perkumpulan Dagang India Timur). VOC membuka kantor dagangnya yang pertama di di Banten (1602) di kepalai oleh Francois Wittert.
Tujuan dibentuknya VOC adalah sebagai berikut.
1.      Untuk menghindari persaingan yang tidak sehat antara sesama pedagang Belanda.
2.      Untuk memperkuat posisi Belanda dalam menghadapi persaingan, baik dengan sesama bangsa Eropa, maupun dengan bangsa-bangsa Asia.
3.      Untuk mendapatkan monopoli perdagangan, baik impor maupun ekspor.
Di masa itu, terjadi persaingan sengit di antara negara-negara Eropa, yaitu Portugis, Spanyol kemudian juga Inggris, Perancis dan Belanda, untuk memperebutkan hegemoni perdagangan di Asia Timur. Untuk menghadapai masalah ini, oleh Staaten Generaal di Belanda VOC diberi wewenang memiliki tentara yang harus mereka biayai sendiri. Selain itu, VOC juga mempunyai hak, atas nama Pemerintah Belanda –yang waktu itu masih berbentuk Republik- untuk membuat perjanjian kenegaraan dan menyatakan perang terhadap suatu negara.
Wewenang ini yang mengakibatkan, bahwa suatu perkumpulan dagang seperti VOC, dapat bertindak seperti layaknya satu negara. Hak-hak istimewa yang tercantum dalam Oktrooi (Piagam/Charta) tanggal 20 Maret 1602 meliputi:
1. Hak monopoli untuk berdagang dan berlayar di wilayah sebelah timur Tanjung Harapan dan sebelah barat Selat Magelhaens serta menguasai perdagangan untuk kepentingan sendiri;
2. Hak kedaulatan (soevereiniteit) sehingga dapat bertindak layaknya suatu negara untuk:
1. memelihara angkatan perang,
2. memaklumkan perang dan mengadakan perdamaian,
3. merebut dan menduduki daerah-daerah asing di luar Belanda,
4. memerintah daerah-daerah tersebut,
5. menetapkan/mengeluarkan mata-uang sendiri, dan
6. memungut pajak.
Belanda konsisten menggunakan kekuatan bersenjata untuk memuluskan perdagangannya dan menjalankan taktik divide et impera (memecah-belah dan kemudian menguasai). Apabila ada konflik internal di satu kerajaan, atau ada pertikaian antara satu kerajaan dengan kerajaan tetangganya, Belanda membantu salah satu pihak untuk mengalahkan lawannya, dengan imbalan yang sangat menguntungkan bagi Belanda, termasuk antara lain memperoleh sebagian wilayah yang bersama-sama dikalahkan. Dengan tipu muslihat dan bantuan penguasa setempat, Belanda berhasil mengusir Portugis dari wilayah yang mereka kuasai di Maluku, yang sangat kaya akan rempah-rempah, yang mahal harganya di Eropa.
Sejak tahun 1780-an terjadi peningkatan biaya dan menurunnya hasil penjualan, yang menyebabkan kerugian perusahaan dagang tersebut. Hal ini disebabkan oleh korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh para pegawai VOC di Asia Tenggara, dari pejabat rendah hingga pejabat tinggi, termasuk para residen. Misalnya beberapa residen Belanda memaksa rakyat untuk menyerahkan hasil produksi kepada mereka dengan harga yang sangat rendah, dan kemudian dijual lagi kepada VOC melalui kenalan atau kerabatnya yang menjadi pejabat VOC dengan harga yang sangat tinggi.
Karena korupsi, lemahnya pengawasan administrasi dan kemudian konflik dengan pemerintah Belanda sehubungan dengan makin berkurangnya keuntungan yang ditransfer ke Belanda karena dikorupsi oleh para pegawai VOC di berbagai wilayah, maka kontrak VOC yang jatuh tempo pada 31 Desember 1979 tidak diperpanjang lagi dan secara resmi dibubarkan tahun 1799.









BAB III
PEMBAHASAN
3.1              Politik Kolonial Konservatif (1800 -1848)
Pada abad ke-18 Belanda mengalami kemunduran politik yang sangat besar. Dalam tahun delapan puluhan perang dengan Inggris menyebabkan rendahnya pada perdagangan VOC, di tambah lagi korupsi yang di lakukan VOC dikarenakan kurangnya pengawasan. Pada tahun 1800 kekayaan VOC di ambil alih oleh kerajaan (pemerintahan Bataafse Republiek). Sementara itu pusat kedudukan VOC di ambil alih oleh Inggris. Pemerintah Belanda melanjutkan politik tradisional kumpeni dengan tujuan agar memperoleh penghasilan sebagai laba perdagangan untuk keuntungan bagi kerajaan. Seperti politik dan administrasi kumpeni dijalankanlah suatu sistem pemerintahan secara tidak langsung., pemerintah pribumi hanya bertugas mengurus masalah-masalah pribumi sedangkan agen-agen Belanda mengawasi tanam wajib untuk pasaran Eropa. Pengaruh besar dari pergolakan politik Eropa adalah perubahan politik kolonial yang dijiwai oleh ideologi Revolusi Prancis dan liberalisme. Sejak semula politik koloni konservatif ini sudah mendapat kritikan pedas dari golongan liberal, yang menganjurkan suatu sistem pemerintahan secara langsung berdasarkan prinsip-prinsip liberal dan perdagangan serta inisiatif partikelir. Sistem ini pertama kalinya di lakukan pada zaman Raffles (sebelum pemerintahan Daendels) selama masa Interregnum Inggris (1811-1816) ketika Belanda takluk kepada Inggris pada tahun 1811 dan pulau Jawa dikembalikan Inggris pada tahun 1816. Raffles mejalankan suatu sistem administrasi yang sesuai dengan doktrin liberal, yaitu persamaan hukum dan kebebasan ekonomi terutama pada hal pajak tanah. Raffles lebih mengutamakan tentang kesejahteraan rakyat sebagai tujuan pokok pemerintahannya. Meskipun Raffles menganut ide liberal, tetapi ia tetap mempertahankan tanam wajib, karena hasilnya memang sangat diperlukan untuk mengisi kas Belanda.
Setelah John Fendall menggantikan Raffles beberapa lamanya, sebagian besar daerah jajahan dikembalikan kepada Belanda. Dengan jatuhnya Napoleon dan datangnya masa Restorasi Raja Willem II mengangkat tiga orang kominsaris jendral yaitu C.T.Elout, van der Capellen, dan Muntinghe untuk mengambil alih pemerintahan dari tangan Inggris di Indonesia.
Van der Capellen (1819-1826) menjalankan politik kolonial sejak pengambilan VOC sampai penyelenggaraan Sistem Tanam Paksa yang mencerminkan suatu ekonomi politik yang berlandaskan pada ideologi liberalisme dan konsep kolonial yang memberi fungsi daerah jajahan selaku wingewest, yaitu daerah yang memberi keuntungan kepada negeri induk. Yang membuat sistem politik ini lebih kompleks keadaan politiknya pada masa transisi itu adalah bahwa sistem pemerintahan akan di pisahkan sepenuhnya dari sistem perdagangan, sehingga harus dicari sumber keungan bagi penyelenggaraan administrasi pemerintahan. Demi memperbaiki sumber keuangan bangsanya Daendels maupun Raffles, meskipun tidak konsekuen pada prinsipnya, untuk tidak menjual dan menyewakan desa kepada bangsa Eropa, Cina, dan Arab. Di daerah kerajaan, para bangsawan dan pejabat mendapat kebebasan untuk menyewakan tanahnya kepada bangsa Eropa.  Van Der Capellen menentang sistem ini, karena selain menyewa desa dan tanah, penyewa juga dapat menggunakan tenaga rakyat. Akibatnya eksploitasi rakyat oleh penyewa dapat merajalela. Sejak tahun 1817 di keluarkan larangan kepada Eropa untuk tidak berusaha di daerah kerajaan dan Cina tidak berusaha di daerah Priangan. Tindakan ini akhirnya menyebabkan terjadinya perang Diponegoro (1825-1830). Politik perlindungan Van Der Capellen itu dimaksudkan untuk lebih menjamin kebebasan dan hak hukum pribumi agar terbukanya luang usaha sendiri bagi orang-orang pribumi. Pada tahun 1827 Van Der Capellen menyatakan bahwa "posisi Bupati harus lebih diperkuat, diteruskan sistem pewaris pangkat" (dikutip dari buku pengantar sejarah Indonesia baru 1500-1900. hlm.341)
Aturan dalam tanam paksa, yaitu:
1.      Penduduk desa harus menyediakan seperima tanah untuk ditanami tanaman yang laku di pasaran dunia.
2.      Tanah yang disediakan bebas dari pajak.
3.      Tanah yang disediakan bebas dari pajak.
4.      Penggarapan tanaman di bawah pengawasan langsung oleh kepala kepala pribumi, sedangkan pihak Belanda bertindak sebagai pengawas secara umum.
Setelah Van Der Capellen di gantikan Du Bus de Gisignies (1826-1830), seorang kapitalis Belgia terkemuka. Konsep Du Bus tentang politik kolonial sama atau sejalan dengan konsep Willem I yang memberikan kebebasan penanaman bersama dengan peningkatan produksi untuk ekspor sebagai dasar guna memejukan perdagangan dan pajak tanah. Politik Du Bus memerlukan tanah dan tenaga  rakyat ditambah modal kaum Eropa, ketiga faktor itu akan membuat produksi ekspor. Tanah yang di maksud adalah tanah yang belum dipergunakan pribumi dan terletak di perdesaan guna menarik tenaga kerja yang bebas di luar musim tanam dan panen baik pemilik, penggarap tanah, ataupun buruh tani. Perencanaan pilotik Du Bus bernada sangat optimis terutama mengenai mentalitas pribumi yang akan meningkatkan taraf hidupnya setelah di beri dorongan berproduksi lebih besar. Dalam politik du Bus ini, terjadi kemerosotan dari pemasukan pajak tanah pada suatu pihak serta kurangnya kemajuan hasil ekspor seperti kopi dan gula.
3.2              Cultuurstelsel (1830 – 1870)
Sampai tahun 1830 politik kolonial Belanda berdasar pada prinsip dan praktek yang satu sama lain saling bertentangan, tetapi sejak tahun 1830 itu politik kolonial Belanda memperoleh satu sistem yang pasti dan konsekuen, yang kemudian dikenal dengan nama cultuurstelsel. Sistem yang menjunjung tinggi kebebasan ekonomi dan perusahaan-perusahaan barat yang kapitalistis, dan yang dapat memberikan keuntungan disingkirkan karena sistem tersebut memberi keuntungan kepada Inggris untuk memonopoli perdagangan di Indonesia, sedangkan Belandalah yang memikul biaya pemerintahan. Melihat penyelewengan-penyelewengan itu Vand den Bosch mengajukan suatu sistem yang dapat memberikan keuntungan dengan cara yang sesuai dengan adat kebiasaan tradisional lokal yang kita kenal dengan cultuurstelsel. Hakikat dari culturstelsel adalah bahwa penduduk, sebagai ganti membayar pajak tanah sekaligus harus menyediakan sejumlah hasil bumi yang nilainya sama dengan nilai pajak tanah itu.
Dengan menjalankan sisten cultuurstelsel ini, kita telah memasuki periode baru dalam politik kolonial. Seperti telah diterangkan diatas, sistem tersebut lebih disesuaikan dengan adat kebiasaan pribumi yang telah ada. Kalau dalam pusat pemerintahan, kolonial dianggap perlu menghormati sistem pemerintahan, maka pada lain pihak di dalam cultuurstelsel mereka itu tidak lebih adalah pelaksana-pelaksana yang diperintahkan diatas. Mereka menjadi "pengawas-pengawas perkebunan" (dikutip dari B.J.O. Schrieke pada buku Indonesia Sociological Studies jilid 1, hlm. 190).
Hasil-hasil finansialCultuurstelsel ini bagi Belanda sangat besar. Antara tahun 1831 dan 1877 negara menerima hasil dari daerah jajahan-jajahan kekeyaan sebesar 823 juta gulden. Sistem ini tidak hanya memberi keuntungan bagi pemerintahan namun juga memajukan perdagangan dan pelayaran Belanda.  Sistem ini juga memperkaya pengusaha-pengusaha pabrik, pedagang-pedagang, yang memberikan modal perdagangan dan modal industri partikelir. Fakta ini mempunyai akibat-akibat yang jauh dalam politik kolonial sebelum 1850.
3.3              Permulaan Politik Kolonial Liberal (1850 – 1870)
Periode antara 1850-1870 ditandai oleh pesatnya kemajuan perdagangan Eropa, dan negara Belanda mendapat keuntungan dari perkembangan ini. Masa 20 tahun ini bagi Negeri Belanda merupakam masa transisi dari keadaan praindustri menjadi industri. Sesungguhnya revolusi industri telah dimulai. Timbullah seperti cendawa di musim hujan, pabrik-pabrik dalam berbagai cabang industri bermunculan. Jalan-jalan kereta api didirikan, posisi sebagai penghasil bahan mentah internasional telah diduduki kembali, pelayaran maju dengan pesat, bank-bank baru banyak didirikan. Tidak dapat diragukan kembali, bahwa cultuurstelsel ikut serta membantu membangun kembali ekonomi secara besar-besaran, di samping memasukkan jutaan kekayaan ke dalam pembendaharaan Belanda.terutama disebabkan oleh berkembangnya impor hasil-hasil dari Indonesia dan meningkatkan perdagangan transit.
Tahun 1848 merupakan permulaan adanya kesempatan untuk mengadakan reform dalam politik kolonial melalui saluran parlementer. Pada 1854 Reegerings Regllement ­(RR) meletakkan dasar bagi pemerintahan kolonial. Prinsip liberal tentang kebebasan individu, keamanan hak-hak dan usaha-usaha di dalam RR itu adalah esensial. Dengan adanya RR konstitusi kolonial mulailah standar baru bagi pemerintahan di Indonesia dan dipaksakanlah politik yang lebih liberal. Sejak itu tanaman pemerintah yang kurang penting seperti indigo, tembakau, teh dihapuskan.
Politik ekonomi kaum liberal adalah kebalikan dari politik yang diajarkan Willem I. Prinsip  yang dianut adalah prinsip “tidak campur tangan”; berhubung dengan itu kerajaan harus menarik diri dari segala campur tangan; segala rintangan terhadap inisiatif individu dan kebebasan harus dihapuskan, dan segala bantuan pemerintah kepada usaha swasta harus dihentikan.semua ini berarti runtuhnya politik merkantilisme dan proteksinisme. Konsekuennya, banyak undang-undang yang melindungi hak-hak istimewa perusahaan-perusahaan nasional dihapus.
Sistem ekonomi liberal mempermudah bank ekspor maupun impor modal. Penanaman modal di Indonesia terutama terjadi pada industri gula, timah dan tembakau yang mulai berkembang sejak 1885. Dengan dihapusnya cultuurstelsel secara berangsur-angsur, maka tanaman wajib pemerintah diganti dengan perkebunan-perkebunan yang diusahakan oleh pengusaha-pengusaha swasta. Kalau disatu pihak modal modal Belanda diekspor maka dilain pihak modal asing, khusunya Jerman, ditanam dibeberapa cabang industri di Negeri Belanda. Singkatnya liberalisasi politik perdagangan Belanda berarti pembukaan Negeri Belanda bagi perdagangan Internasional. Sebagai negara kecil diantara negara-negara besar dengan industri-industrinya yang sudah maju, maka sudah selayaknya kalua Negeri Belanda mengarahkan dirinya ke konstelasi ekonomi umum. Arah liberal ini berakhir pada 1880, ketika bangsa-bangsa yang besar kembali lagi protekdinisme. Negeri Belanda sebagian besar mendapat pengikut dikalangan kaum borjuis yang mengalami emansipasi politik sejajar dengan posisinya yang kuat di dalam ekonomi politik. Sebetulnya masa 20 tahun (1850-1870) dapat dianggap sebagai masa konsilidasi ke negara liberal.
Sejak persoalan-persoalan kolonial tidak ada menjadi rahasia di Staten Generaal, maka parlemen selalu menaruh perhatian terhadap soal-soal tersebut. Banyak diantara anggota-anggotanya memperluas pengetahuan mengenai tanah jajahan, maka sudah selayaknya mereka menjadi lebih sensitif akan kekurangan-kekurangan mereka. Akibat dari perubahan opini tentang politik kolonial berubah sangat cepat. Sesungguhnya politik kolonial golongan liberal harus sesuai dengan politik liberal di negeri induk. Jadi mereka menentang proteksi dan eksploitasi pemerintah di tanah jajahan; menuntut liberalisasi ekonomi di Hindia-Belanda, sebab itulah maka sistem seperti hak-hak dan tarif-tarif yang berbeda-beda dan kogsinasi harus di hapuskan.
Sebagai ganti eksploitasi pemerintah akan dijalankan kebebasan dan kerja wajib akan diganti dengan kerja bebas. Akan tetapi baik partai liberal maupun partai konservatif menerima prinsip bahwa tanah jajahan harus membantu kesejahteraan material negeri induk. Keduanya tidak keberatan Hindia-Belanda menyumbangkan surplus anggaran belanjanya kepada Negeri Belanda.
Sejak partai Liberal berkuasa dirintislah modernisasi seperti yang terdapat di Negeri Belanda. Bank-bank, jalan-jalan kereta api, dinas-dinas pos, perkebunan-perkebunan swasta timbul. Sesudah 1870 perkembangan ini maju terus dengan pesat.
3.4              Dari Politik Kolonial ke Politik Etis (1870 – 1900)
Pada 1870 Belanda memasuki periode kapitalisme modern. Hasil revolusi selama 20 tahun terwujud dalam perkembangan industri, perkapalan, perbankan, dan komunikasi yang modern. Volume perdagangan berkembang dengan pesat, sedangkan perkembangan modal terjadi secara besar-besaran. Sistem perrdagangan bebas mengatur hubungan-hubungan ekonomi Belanda dengan negara-negara tetangga. Politik “pintu terbuka” di Hindia-Belanda dan perkembangan perusahaan-perusahaan swasta mengakibatkan hasil-hasil tanah jajahan lebih banyak mencari pasaran di negara asing daripada di Negeri Belanda. Politik pintu terbuka adalah pemerintah Belanda membuka Hindia-Belanda bagi para pengusaha swasta untuk menanamkan modalnya, khususnya dibidabg perkebunan.
Liberalisme memberi dorongan baru kepada kemajuan ekonomi. Di dalam sistem baru ini pengusaha-pengusaha swasta mengambil alih perusahaan-perusahaan yang dahulu diurus oleh pemerintahan kolonial, dengan cara mengurusnya tetap berjalan seperti sedia kala, bedanya kalau dahulu hanya ada pemegang saham tunggal, sekarang jumlah pemegang sahamnya banyak.
Perkembangan politik kolonial Belanda ada hubungannya dengan keadaan ekonomi dan sistem politik di Negeri Belanda. Periode 1850 sampai 1870 adalah masa jaya bagi kaum liberal di Negeri Belanda, sedangkan di Hindia-Belanda merupakan periode transisi dari politik kolonial konservatif ke politik kolonial liberal. Perkembangan di Hindia-Belanda bergantung pada perkembangan Negeri Belanda, dan perkembangan negara-negara modern lainnya.
Menurut keadaan sistem partai pada tahun 1870-an dapat dikatakan tampak adanya perkembangan demokratisasi yang meningkat. Proses ini disertai dengan mundurnya liberalisme. Perpecahan di dalam partai Liberal tidak dapat dielakkan sejak dilancarkannya isu agama. Partai-partai agama tampil ke depan. Politik partai semakin berkembang melalui garis-garis keagamaan, seddang garis pemisah antara liberal dan konservatif menjadi kabur. Dalam waktu 20 tahun, partai-partai baru ini dapat menentukan arah politik kolonial.
Pada 1890 terbentuk partai sosialis, yang dalam wakttu singkat menjadi pejuang yang gigih dalam persoalan kolonial. Perbedaan-perbedaan di parlemen makin berpusat persoalan kolonial. Semua partai memiliki tujuan yang sama, yaitu daerah jajahan harus dapat menghasilkan keutungan kepada negara induk dan kesejahteraan penduduk pribumi harus menjadi persoalan yang serius bagi pemerintah colonial. Ide tentang hak mengeksploitasi tampak jelas di dalam pemikiran kaum liberal, kaum konservatif, dan kaum beragama dari berbagai lapisan.
Tahun 1870 sebagai titik balik bagi sejarah politik kolonial Belanda. Satu-satunya alasan adanya Undang-undang Agraria yang disahkan dan mulai berlaku pada tahun itu. Beberapa ketentuan dari undang-undang Agraria yaitu pengambil alihan tanah penduduk pribumi dilarang, dimaksud sebagai cara mencegah timbulnya kekuasaan yang akan merampas hak milik atas tanah secara semena-mena. Orang-orang asing diperbolehkan menyewa tanah pertanian dalam jangka waktu 5 tahun. Ketentuan ini ditunjuk untuk perusahaan, yaitu memberi jalan kepada pengusaha-pengusaha swasta untuk memakai tanah penduduk. Akan tetapi, tanah dan tenaga kerja merupakan satu kesatuan, kedua-duanya terjalin pada organisasi politik penduduk pribumi, sehingga yang menguasai tanag itu dapat menggunakan tenaga penduduk sewenang-wenang, sebanyak yang dikehendaki. Adapun isi Undang-Undang Agraria 1870, yaitu:
1.       Gubernur jenderal tidak diperbolehkan menjadi tanah milik pemerintah. Tanah itu dapat disewakan paling lama 75 tahun.
2.      Tanah milik pemerintah antara lain hutan yang belum dibuka, tanah yang berada di luar wilayah milik desa dan penghuninya, dan tanah milik adat.
3.      Tanah milik penduduk antara lain semua sawah, ladang, dan sejenisnya yang dimiliki.
Batu ujian yang sesungguhnya bagi para pembuat politik kolonial adalah isu tentang apa yang disebut batig slot (sistem keutungan besih). Sejak cultuurstelsel dijalankan, Hindia-Belanda menyetor kelebihan uang ke Negeri Belanda sejumlah antara 10.000.000-40.000.000 gulden setiap tahun. Ketika batig slot terakhir pada 1877 negeri induk memperoleh keuntungan sebesar 825.000.000 gulden. Isu demikian sudah ada sejak 1864 yakni waktu diterimanya Comptabiliteitswet (Undang-Undang tentang Keuangan). Di dalam undang-undang  tersebut ditetapkan bahwa anggaran belanja Hindia-Belanda ditentukan berdasarkan Undang-Undang Negeri Belanda. Hubungan finansial antara Hindia-Belanda dan Negeri Belanda serta batig slot  selalu menjadi sasaran kritik bagi yang duduk di kursi parlemen.
Masalah menjadi semakin kompleks karena timbulnya suatu sentiment yang sama sekali menentang politik kolonial lama, yang menuduh pemerintah Negeri Belanda merampok jutaan kekayaan Hindia-Belanda  di masa lampau dan menuntut restitusi dari surplus yang telah diambilnya terhitung sejak berlakunya Comptabiliteitswet pada 1867. Usul yang agak radikal diajukan oleh Van Dedem, yang menuntut dihapuskannya pengambilan keuntungan dari tanah jajahan oleh negeri induk. Bertentangan dengan persoalan ini adalah pendapat, bahwa jutaan uang yang dikeluarkan oleh pembendaharaan Negeri Belanda boleh jadi tidak banyak menguntungkan pribumi tetapi lebih menguntungkan orang-orang Eropa, penanam kopi dan gula. Pendirian ketiga berpendapat, bahwa jutaan uang yang dihasilkan oleh Hindia-Belanda harus dibelanjakan untuk kepentingan perkembangan di Hindia-Belanda kecuali bagian yang menjadi hak Negeri Belanda.
Sejak dihapuskannya batig slot, berkembanglah suatu mentalitas baru mengenai kesejahteraan bangsa Indonesia dan berpengaruh diantara para politisi. Bersamaan dengan itu muncul suatu orientasi politik kolonial baru yang terarah ke prinsip “Hindia-Belanda untuk orang pribumi”` dengan berpijak pada kepentingan pribumi tuntutan pembayaran kembali keuntungan bersih, politik keuangan colonial dikritik sangat pedas, rencana perbaikan dibuat. Janji-janji tertuju pada kepentingan pribumi di Hindia-Belanda terus menerus diucapkan, tetapi hampir-hampir tidak ada yang dikerjakan untuk meningkatkan penghidupan pribumi.
Sepanjang abad ke-19 tentara kolonial terus-menerus melancarkan peperangan terhadap penguasa-penguasa lokal, raja-raja kecil, dan sultan-sultan. Diantaranya hanya peperangan kecil, tetapi ada juga yang mendatangkan bencana dan memayahkan, seperti perang Diponegoro (1825-1830), Perang Padri (1831-1839) dan Perang Aceh (1874-1904).
Ada pun yang menjadi alasan konflik adalah “pembawa perdamaian dan ketertiban”. Konflik lokal atau perang saudara setiap saat dijadikan dalih pemerintah Belanda untuk melakukan intervensi. Belanda tampaknya menggunakan teori pedalaman (theory of the hiterland) dan dalam mengadakan perjanjian-perjanjian politik dengan penguasa-penguasa lokal atau raja pesisir, membatasi diri hanya untuk memperoleh pengakuan kedaulatan.
Ekspedisi-ekspedisi militer ini menimbulkan kritik pedas dari berbagai pihak. Perang Aceh yang tampaknya tak kunjung selesai, menguras harta negara, sehingga usaha-usaha umum yang produktif terpaksa dikesampingkan. Kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh tentara kolonial sangat menggoncangkan pendapat umum, dan banyak politisi yang menganggaptak ada alasan untuk melanjutkan perang ini. Kritik kritik yang paling tajam dilancarkan oleh kaum kapitalis, yang menghendaki agar pemerintah kolonial membuka daerrah baru untuk investasi-investasi modal.
3.5              Menjelang Politik Etis (1900)
Politik Liberal yang berlangsung sebelum adanya sistem politik ethis menekankan harus ada keuntungan yang diberikan oleh tanah jajahan kepada negara induk, yakni Belanda. Masalah yang terus terjadi dalam berbagai sistem yang diterapkan oleh pemerintah kolonial adalah mengenai cara mengeksplorasi tanah jajahan. Partai agama (Roma Katolik, Anti Revolusioner, dan Kristen Historis) yang bersifat humaniter menekankan politik yang berbasis pada agama, kerja bebas, dan tuntutan moral dari negara induk. Juga dianggap sangat perlu untuk mengadakan perbaikan keuangan dan cara mengeksploitasi sumber daya alam tanah jajahan, mengangkat hak dan kepentingan serta moral masyarakat pribumi.
Cara untuk mengangkat derajat masyarakat pribumi adalah dengan melakukan misi penyebaran agama dan peradaban serta mengasimilasikan meraka ke dalam budaya Barat. Menurut kaum humaniter, tujuan akhir politik kolonial seharusnya untuk meningkatkan kesejahteraan dan perkembangan moral masyarakat pribumi, evolusi ekonomi, dan bukan eksploitasi, melainkan pertanggungjawaban moral.
Politik etis mempunyai orientasi kepada paham humanis, menguntungkan penduduk pribumi, mengejar politik kesejahteraan, dan menjadi makin kuat. Adapu 3 slogan utama poltik ethis, yaitu: irigasi, edukasi, dan imigrasi.
Mr. Conrad Theodore van Deventer, Seorang politikus dan ahli hukum Belanda. Beliau memulai karier sebagai ahli hukum ketika bertolak ke Indonesia. Selama di Indonesia, beliau tergugah oleh nasib bangsa Indonesia yang tanah airnya dijadikan daerah jajahan dan eksploitasi demi kemakmuran negeri Belanda. Realitas kehidupan yang beliau saksikan di Indonesia mendorongnya menulis sebuah artikel dalam majalah De Gids yang berjudul Een Ereschuld (Hutang Budi/Hutang Kehormatan).
Dalam artikelnya beliau meminta kepada negaranya (Belanda) untuk mengembalikan hak kaum bumiputera (di Hindia Belanda) yang telah memberikan kemakmuran bagi negeri Belanda. Oleh karena itu, beliau mengusulkan tiga hal pokok kepada pemerintah Belanda yang dikenal dengan politik etis atau politik balas budi. Tulisannya itu mendesak parlemen Belanda dan menggugah Ratu Belanda untuk mengeluarkan maklumat etis.
Menanggapi situasi yang berkembang pada awal abad ke-20, Ratu Belanda dalam pidato tahun 1901 menyatakan bahwa Negeri Belanda mempunyai kewajiban untuk mengusahakan kemakmuran serta perkembangan social dan otonomi dari pendudukHindia. Oleh karena itu, Belanda melakukan politik balas budi (politik etis) kepada rakyat Indonesia, yang dimulai dengan memberikan bantuan sebesar 40 juta gulden.
1.                  Latar Belakang Munculnya Politik Etis
Munculnya politik etis dilatarbelakangi oleh hal-hal berikut ini.
a.    Pelaksanaan sistem tanam paksa yang menguntungkan Belanda, tetapi menimbulkan penderitaan rakyat Indonesia telah menggugah hati nurani sebagian orang Belanda.
b.    Eksploitasi terhadap tanah dan penduduk Indonesia dengan system ekonomi liberal tidak mengubah nasib buruk rakyat pribumi. Sementara itu, kaum kapitalis dari Belanda, Inggris, Amerika, Belgia, Cina, dan Jepang memperoleh keuntungan yang sangat besar.
c.    Upaya Belanda untuk memperkokoh pertahanan negeri jajahan dilakukan dengan cara penekanan dan penindasan terhadap rakyat.Rakyat kehilangan hak miliknya yang utama yaitu tanah. Bahkan, industry rakyat pun terdesak. Karena penderitaan itu, timbullah golongan yang sama sekali tidak mempunyai tanah. Mereka termasuk dalam golongan buruh yang bekerja pada perkebunan, pabrik, dan tambang.
d.   Adanya kritik dari kaum intelektual Belanda sendiri (Kaum Etisi) terhadap praktik liberal kolonial, seperti van Kol, van Deventer, de Waal, Baron van Hoevell, dan Van den Berg.
1.      Van Kol, sebagai juru bicara golongan sosialis, melancarkan kritik terhadap keadaan yang serba merosot di Indonesia karena terus-terusan diterapkan politik drainage (penghisapan) kekayaan oleh pemerintah Belanda dan tidak dibelanjakan di Indonesia.
2.      Van Deventer, pada tahun 1899 dalam artikelnya pada majalah De Gids berjudul Een Eereschuld (hutang kehormatan) menuliskan bahwa jutaan gulden yang diperoleh dari Indonesia sebagai Hutang Kehormatan. Pembayaran hutang tersebut dapat dilakukan dengan tiga cara, yang dikenal dengan Trilogi Van Deventer, yaitu.
       Irigrasi (pengairan)
       Emigrasi (perpindahan penduduk), dan
       Edukasi (pendidikan).
3.      De Waal memperhitungkan bahwa sejak VOC hingga zaman ekonomi liberal (1884), rakyat Indonesia berhak mendapatkan 528 juta gulden dari Belanda. Bahkan apabila dihitung dengan bunganya maka menjadi 1585 juta gulden.
4.      Baron van Hoevell, seorang pendeta Protestan yang secara berapi-api meminta perbaikan nasib rakyat Indonesia dan siding parlemen.
2.                  Pelaksanaan Politik Etis
Sejak tahun 1901, pemerintah colonial mulai memerhatikan aspirasi rakyat Indonesia yang menginginkan emansipasi dan kemerdekaan. Kemudian dicari bentuk pemerintahan colonial yang merupakan perpaduan antara Barat dan Timur. Oleh karena itu, politik etis juga disebut dengan politik asosiasi.
Perubahan berhasil dicapai dengan politik etis, antara lain sebagai berikut.
a.    Desentralisasi pemerintahan, yang diwujudkan dengan diumumkannya Undang-Undang Desentralisasi (1903) tentang pembentukan dewan-dewan local sebagai lembaga hukum. Dewan local mempunyai wewenang membuat peraturan mengenai pajak dan pembangunan sarana-prasarana umum. Kemudian, pembentukan Dewan Rakyat (Volksraad) pada tahun 1916 dan diresmikan pada tahun 1919.
b.    Pembangunan irigasi untuk menunjang kebutuhan pertanian. Pada tahun 1914, pemerintah colonial telah membangun irigasi seluas 93.000 bau.
c.    Emigrasi (transmigrasi) perpindahan penduduk, terutama bagi penduduk di Pulau Jawa yang semakin padat.
d.   Edukasi, dengan didirikannya bermacam sekolah bagi semua golongan masyarakat, seperti sekolah kelas I (untuk anak-anak pegawai negeri, orang berkedudukan, dan orang berharta); sekolah kelas II (untuk anak-anak pribumi pada umumnya); sekolah pamong praja (OSVIA); dan sekolah dokter Jawa (STOVIA).
e.    Perbaikan kesehatan dan penanggulangan penyakit. Pada tahun 1920, dilaporkan bahwa sebagian besar wilayah Indonesia telah terbebas dari epidemic cacar dan sesudah 1928 terbebas pula dari wabah kolera.
3.                  Kegagalan Politik Etis
Reaksi terhadap pelaksanaan politik etis mulai muncul pada tahun 1914. Masyarakat mulai bergolak dan banyak melancarkan kritik terhadap politik etis yang dianggap telah gagal. Kegagalan tersebut Nampak dalam kenyataan-kenyataan sebagai berikut.
a.    Sejak pelaksanaan sistem politik ekonomi liberal Belanda mendapatkan keuntungan yang sangat besar sekali, sedangkan tingkat kesejahteraan rakyat pribumi masih tetap rendah.
b.    Hanya sebagian kecil kaum pribumi yang memperoleh keuntungan dan kedudukan yang baik dalam masyarakat colonial, yaitu golongan pegawai negeri.
c.    Pegawai negeri dari golongan pribumi hanya digunakan sebagai alat saja sehingga dominasi bangsa Belanda tetap saja sangat besar.























BAB III
KESIMPULAN
Konservatisme adalah sebuah filsafat politik yang mendukung nilai-nilai tradisional. Istilah ini berasal dari kata dalam bahasa Latin, conservare, yang artinya melestarikan, menjaga, memelihara, mengamalkan. Karena berbagai budaya memiliki nilai-nilai yang mapan dan berbeda-beda, kaum konservatif di berbagai kebudayaan mempunyai tujuan yang berbeda-beda pula. Politik kolonial konservatif berkembang di Hindia-Belanda sejak 1800-1848, politik kolonial konservatif berakhir pada tahun 1848 karena dianggap gagal karena tidak mampu mendapat keuntungan yang sebesar dulunya.
Culturstelsel mulai diberlakukan sejak tahun 1830, sistem ini menjunjung tinggi kebebasan ekonomi dan perusahaan-perusahaan barat yang kapitalis. Hasil dari culturstelsel bagi Belanda sangat besar. Antara tahun 1831-1877 negara Belanda menerima hasil dari daerah jajahan sebesar 823 gulden.
Pada 1854 Reegerings Regllement ­(RR) meletakkan dasar bagi pemerintahan kolonial, yaitu menjadikan liberal sebagai landasan politik Kerajaan Belanda. Dengan dihapusnya cultuurstelsel, maka tanam wajib pemerintah diganti dengan perkebunan yang diusahakan oleh pengusaha swasta. Partai Liberal berkuasa karena partai konservatif sudah tidak dipercaya oleh parlemen.
Perubahan kepemilikan lahan dan modal, awalnya milik pemerintah menjadi milik swasta. Munculnya partai keagamaan, karena garis pemisah antara partai liberal dan konservatif mulai kabur. Terbentuknya partai sosialis, lawan dari partai liberalis. Berlakunya Undang-Undang Agraria, berlakunya Comptabiliteitswet pada 1867 serta ekpedisi militer Kolonial Belanda terhadap suku serta raja kecil di Hindia-Belanda.
Sejak tahun 1901, pemerintah colonial mulai memerhatikan aspirasi rakyat Indonesia yang menginginkan emansipasi dan kemerdekaan. Kemudian dicari bentuk pemerintahan colonial yang merupakan perpaduan antara Barat dan Timur. Oleh karena itu, politik etis juga disebut dengan politik asosiasi. Van Deventer merupakan kaum intelektual Belanda yang mempelopori politik etis dengan 3 cara ; Edukasi, Irigasi dan Emigrasi.

DAFTAR PUSTAKA
Kartodidjo, Sartono. 1987. Pengantar Sejarah Indonesia baru 1500-1900 dari  Emporium sampai Imporium jilid 1.Jakarta:PT Gramedia
Kartodirjo, Sartono. 2015. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional. Ombak: Yogyakarta
Kartodidjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme jilid 2. Jakarta:PT Gramedia.1992.
Riklefs, M.C. 2016. Sejarah Indonesia Modern. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar