PERKEMBANGAN KEHIDUPAN SOSIAL
POLITIK
DI INDONESIA ABAD KE 19
Disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia Dosen
Pengampu : Ana Nurhasanah, M.Pd.
Disusun
oleh,
Kelompok
2 :
Nuhiyah
Neni Nur’aeni
Siregar
Rafli Maulana
Fajar Putro S
|
2288150010
2288150012
22881500
2288150036
|
JURUSAN
PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
SULTAN AGENG TIRTAYASA
OKTOBER,
2016
KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Segala puji bagi Allah karena telah
memberikan limpahan nikmat dan karuniaNya,
Sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan Makalah “Perkembangan Kehidupan Sosial
Politik di Indonesia Abad Ke 19”
ini. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan pada junjungan kita Nabi Agung
Muhammad SAW yang kita nantikan syafa’atnya di yaumul akhir nanti.
Penyusunan
makalah ini didasari pada tinjauan pustaka. Makalah ini disusun dalam rangka untuk
menyelesaikan tugas Mata Kuliah Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia. Pada
kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada Ibu Ana Nurhasanah, M.Pd. selaku Dosen Mata Kuliah Sejarah
Pergerakan Nasional Indonesia dan semua pihak yang telah memberikan
bantuannya sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Oleh karena itu, Kritik dan saran dari pembaca
sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Serang, Oktober 2016
Penyusun
|
i
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR.............................................................................................. i
DAFTAR
ISI............................................................................................................ ii
BAB
I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang............................................................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah........................................................................................... 1
1.3
Tujuan............................................................................................................. 1
BAB
II KAJIAN PUSTAKA.................................................................................. 2
BAB
III PEMBAHASAN
3.1
Politik Kolonial
Konservatif (1800 -1848)..................................................... 5
3.2
Cultuurstelsel
(1830 – 1870)........................................................................... 7
3.3
Permulaan
Politik Kolonial Liberal (1850 – 1870)......................................... 8
3.4
Dari Politik
Kolonial Ke Politik Etis (1870 – 1900)..................................... 10
3.5
Menjelang
Politik Etis (1900)....................................................................... 13
BAB
III KESIMPULAN....................................................................................... 17
DAFTAR
PUSTAKA............................................................................................ 18
ii
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Politik
Imperialisme yang dijalankan Belanda di Indonesia berlansung selama periode
tahun 1850 hingga 1900. “Imperialisme” berarti pengluasan kontrol politik ke
daerah seberang atau dengan kata lain ekspansi kolonial. Tujuannya adalah untuk
mencari keuntungan, ekonomis terutama, dari tanah jajahan bagi perindustrian
dan pendapatan negara Belanda. Politik Imperialisme itu terdiri atas: Politik
Kolonial Konservatif (1800-1848), Politik Kolonial Liberal (1850-1870), dan Politik
Etis (± 1900).
1.2
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
Politik Kolonial Konservatif yang berkembang di Indonesia pada tahun 1800
-1848?
2.
Bagaimana
Cultuurstelsel yang diterapkan di Indonesia pada tahun 1830 – 1870?
3.
Bagaimana
Permulaan Politik Kolonial Liberal di Indonesia pada tahun 1850 – 1870?
4.
Bagaimana
proses peralihan dari Politik Kolonial ke Politik Etis di Indonesia pada tahun
1870 – 1900?
5.
Bagaimana
proses menjelang Politik Etis di Indonesia?
1.3
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui Politik Kolonial Konservatif yang berkembang di Indonesia pada tahun
1800 -1848
2.
Untuk
mengetahui Cultuurstelsel yang diterapkan di Indonesia pada tahun 1830 –
1870
3.
Untuk
mengetahui Permulaan Politik Kolonial Liberal di Indonesia pada tahun 1850 –
1870
4.
Untuk
mengetahui proses perubahan dari Politik Kolonial ke Politik Etis di Indonesia
pada tahun 1870 – 1900
5.
Untuk
mengetahui proses menjelang Politik Etis di Indonesia
BAB
II
KAJIAN
PUSTAKA
2.1.
Latar belakang datangnya Bangsa Belanda ke Indonesia
Sebelum
datang ke Indonesia, para pedagang Belanda membeli rempah-rempah di Lisabon
(ibu kota Portugis). Pada waktu itu Belanda masih berada di bawah penjajahan
Spanyol. Mulai tahun 1585, Belanda tidak lagi mengambil rempah-rempah dari
Lisabon karena Portugis dikuasai oleh Spanyol. Dengan putusnya hubungan
perdagangan rempah-rempah antara Belanda dan Spanyol mendorong bangsa Belanda
untuk mengadakan penjelajahan samudra.
Pada
bulan April 1595, Belanda memulai pelayaran menuju Nusantara dengan empat buah
kapal di bawah pimpinan Cornelis de
Houtman. Dalam pelayarannya menuju ke timur, Belanda menempuh rute Pantai Barat
Afrika –Tanjung Harapan–Samudra Hindia–Selat Sunda–Banten.
Pada
saat itu Banten berada di bawah pemerintahan Maulana Muhammad (1580–1605)
Kedatangan rombongan Cornelis de Houtman, pada mulanya diterima baik oleh
masyarakat Banten dan juga diizinkan untuk berdagang di Banten.
Namun,
karenanya sikap yang kurang baik sehingga orang Belanda kemudian diusir dari
Banten. Selanjutnya, orang-orang Belanda meneruskan perjalanan ke timur
akhirnya sampai di Bali.
Rombongan
kedua dari Negeri Belanda di bawah pimpinan Jacob van Neck dan Van Waerwyck,
dengan delapan buah kapalnya tiba di Banten pada bulan November 1598. Pada saat
itu hubungan Banten dengan Portugis sedang memburuk sehingga kedatangan bangsa
Belanda diterima dengan baik. Sikap Belanda sendiri juga sangat hati-hati dan
pandai mengambil hati para penguasa Banten sehingga tiga buah kapal mereka
penuh dengan muatan rempah-rempah (lada) dan dikirim ke Negeri Belanda,
sedangkan lima buah kapalnya yang lain menuju ke Maluku.
2.2.
VOC (Verenigde
Oost-Indische Compagnie)
Adalah para
pedagang Inggris yang memulai mendirikan perusahaan dagang di Asia pada 31
Desember 1600 yang dinamakan The Britisch East India Company dan
berpusat di Calcutta. Kemudian Belanda menyusul tahun 1602 dan Prancis pun tak
mau ketinggalan dan mendirikan French East India Company tahun 1604.
Pada
20 Maret 1602, para pedagang Belanda mendirikan Verenigde Oost-Indische
Compagnie - VOC (Perkumpulan Dagang India Timur). VOC membuka kantor
dagangnya yang pertama di di Banten (1602) di kepalai oleh Francois Wittert.
Tujuan
dibentuknya VOC adalah sebagai berikut.
1.
Untuk
menghindari persaingan yang tidak sehat antara sesama pedagang Belanda.
2.
Untuk
memperkuat posisi Belanda dalam menghadapi persaingan, baik dengan sesama
bangsa Eropa, maupun dengan bangsa-bangsa Asia.
3.
Untuk
mendapatkan monopoli perdagangan, baik impor maupun ekspor.
Di
masa itu, terjadi persaingan sengit di antara negara-negara Eropa, yaitu
Portugis, Spanyol kemudian juga Inggris, Perancis dan Belanda, untuk
memperebutkan hegemoni perdagangan di Asia Timur. Untuk menghadapai masalah
ini, oleh Staaten Generaal di Belanda VOC diberi wewenang memiliki tentara yang
harus mereka biayai sendiri. Selain itu, VOC juga mempunyai hak, atas nama
Pemerintah Belanda –yang waktu itu masih berbentuk Republik- untuk membuat
perjanjian kenegaraan dan menyatakan perang terhadap suatu negara.
Wewenang
ini yang mengakibatkan, bahwa suatu perkumpulan dagang seperti VOC, dapat
bertindak seperti layaknya satu negara. Hak-hak istimewa yang tercantum dalam
Oktrooi (Piagam/Charta) tanggal 20 Maret 1602 meliputi:
1.
Hak monopoli untuk berdagang dan berlayar di wilayah sebelah timur Tanjung
Harapan dan sebelah barat Selat Magelhaens serta menguasai perdagangan untuk
kepentingan sendiri;
2.
Hak kedaulatan (soevereiniteit) sehingga dapat bertindak layaknya suatu negara
untuk:
1.
memelihara angkatan perang,
2.
memaklumkan perang dan mengadakan perdamaian,
3.
merebut dan menduduki daerah-daerah asing di luar Belanda,
4.
memerintah daerah-daerah tersebut,
5.
menetapkan/mengeluarkan mata-uang sendiri, dan
6.
memungut pajak.
Belanda
konsisten menggunakan kekuatan bersenjata untuk memuluskan perdagangannya dan
menjalankan taktik divide et impera (memecah-belah dan kemudian menguasai).
Apabila ada konflik internal di satu kerajaan, atau ada pertikaian antara satu
kerajaan dengan kerajaan tetangganya, Belanda membantu salah satu pihak untuk
mengalahkan lawannya, dengan imbalan yang sangat menguntungkan bagi Belanda,
termasuk antara lain memperoleh sebagian wilayah yang bersama-sama dikalahkan.
Dengan tipu muslihat dan bantuan penguasa setempat, Belanda berhasil mengusir
Portugis dari wilayah yang mereka kuasai di Maluku, yang sangat kaya akan
rempah-rempah, yang mahal harganya di Eropa.
Sejak
tahun 1780-an terjadi peningkatan biaya dan menurunnya hasil penjualan, yang
menyebabkan kerugian perusahaan dagang tersebut. Hal ini disebabkan oleh
korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh para pegawai VOC di Asia
Tenggara, dari pejabat rendah hingga pejabat tinggi, termasuk para residen.
Misalnya beberapa residen Belanda memaksa rakyat untuk menyerahkan hasil
produksi kepada mereka dengan harga yang sangat rendah, dan kemudian dijual
lagi kepada VOC melalui kenalan atau kerabatnya yang menjadi pejabat VOC dengan
harga yang sangat tinggi.
Karena
korupsi, lemahnya pengawasan administrasi dan kemudian konflik dengan
pemerintah Belanda sehubungan dengan makin berkurangnya keuntungan yang
ditransfer ke Belanda karena dikorupsi oleh para pegawai VOC di berbagai
wilayah, maka kontrak VOC yang jatuh tempo pada 31 Desember 1979 tidak
diperpanjang lagi dan secara resmi dibubarkan tahun 1799.
BAB
III
PEMBAHASAN
3.1
Politik Kolonial Konservatif (1800 -1848)
Pada
abad ke-18 Belanda mengalami kemunduran politik yang sangat besar. Dalam tahun
delapan puluhan perang dengan Inggris menyebabkan rendahnya pada perdagangan
VOC, di tambah lagi korupsi yang di lakukan VOC dikarenakan kurangnya
pengawasan. Pada tahun 1800 kekayaan VOC di ambil alih oleh kerajaan
(pemerintahan Bataafse Republiek). Sementara itu pusat kedudukan VOC di ambil
alih oleh Inggris. Pemerintah Belanda melanjutkan politik tradisional kumpeni
dengan tujuan agar memperoleh penghasilan sebagai laba perdagangan untuk
keuntungan bagi kerajaan. Seperti politik dan administrasi kumpeni
dijalankanlah suatu sistem pemerintahan secara tidak langsung., pemerintah
pribumi hanya bertugas mengurus masalah-masalah pribumi sedangkan agen-agen
Belanda mengawasi tanam wajib untuk pasaran Eropa. Pengaruh besar dari
pergolakan politik Eropa adalah perubahan politik kolonial yang dijiwai oleh
ideologi Revolusi Prancis dan liberalisme. Sejak semula politik koloni
konservatif ini sudah mendapat kritikan pedas dari golongan liberal, yang
menganjurkan suatu sistem pemerintahan secara langsung berdasarkan
prinsip-prinsip liberal dan perdagangan serta inisiatif partikelir. Sistem ini
pertama kalinya di lakukan pada zaman Raffles (sebelum pemerintahan Daendels)
selama masa Interregnum Inggris (1811-1816) ketika Belanda takluk kepada
Inggris pada tahun 1811 dan pulau Jawa dikembalikan Inggris pada tahun 1816.
Raffles mejalankan suatu sistem administrasi yang sesuai dengan doktrin
liberal, yaitu persamaan hukum dan kebebasan ekonomi terutama pada hal pajak
tanah. Raffles lebih mengutamakan tentang kesejahteraan rakyat sebagai tujuan
pokok pemerintahannya. Meskipun Raffles menganut ide liberal, tetapi ia tetap
mempertahankan tanam wajib, karena hasilnya memang sangat diperlukan untuk
mengisi kas Belanda.
Setelah
John Fendall menggantikan Raffles beberapa lamanya, sebagian besar daerah
jajahan dikembalikan kepada Belanda. Dengan jatuhnya Napoleon dan datangnya
masa Restorasi Raja Willem II mengangkat tiga orang kominsaris jendral yaitu
C.T.Elout, van der Capellen, dan Muntinghe untuk mengambil alih pemerintahan
dari tangan Inggris di Indonesia.
Van
der Capellen (1819-1826) menjalankan politik kolonial sejak pengambilan VOC
sampai penyelenggaraan Sistem Tanam Paksa yang mencerminkan suatu ekonomi
politik yang berlandaskan pada ideologi liberalisme dan konsep kolonial yang
memberi fungsi daerah jajahan selaku wingewest, yaitu daerah yang memberi
keuntungan kepada negeri induk. Yang membuat sistem politik ini lebih kompleks
keadaan politiknya pada masa transisi itu adalah bahwa sistem pemerintahan akan
di pisahkan sepenuhnya dari sistem perdagangan, sehingga harus dicari sumber
keungan bagi penyelenggaraan administrasi pemerintahan. Demi memperbaiki sumber
keuangan bangsanya Daendels maupun Raffles, meskipun tidak konsekuen pada
prinsipnya, untuk tidak menjual dan menyewakan desa kepada bangsa Eropa, Cina,
dan Arab. Di daerah kerajaan, para bangsawan dan pejabat mendapat kebebasan
untuk menyewakan tanahnya kepada bangsa Eropa.
Van Der Capellen menentang sistem ini, karena selain menyewa desa dan
tanah, penyewa juga dapat menggunakan tenaga rakyat. Akibatnya eksploitasi
rakyat oleh penyewa dapat merajalela. Sejak tahun 1817 di keluarkan larangan
kepada Eropa untuk tidak berusaha di daerah kerajaan dan Cina tidak berusaha di
daerah Priangan. Tindakan ini akhirnya menyebabkan terjadinya perang Diponegoro
(1825-1830). Politik perlindungan Van Der Capellen itu dimaksudkan untuk lebih
menjamin kebebasan dan hak hukum pribumi agar terbukanya luang usaha sendiri
bagi orang-orang pribumi. Pada tahun 1827 Van Der Capellen menyatakan bahwa
"posisi Bupati harus lebih diperkuat, diteruskan sistem pewaris
pangkat" (dikutip dari buku pengantar sejarah Indonesia baru 1500-1900.
hlm.341)
Aturan
dalam tanam paksa, yaitu:
1.
Penduduk
desa harus menyediakan seperima tanah untuk ditanami tanaman yang laku di
pasaran dunia.
2.
Tanah
yang disediakan bebas dari pajak.
3.
Tanah
yang disediakan bebas dari pajak.
4.
Penggarapan
tanaman di bawah pengawasan langsung oleh kepala kepala pribumi, sedangkan
pihak Belanda bertindak sebagai pengawas secara umum.
Setelah
Van Der Capellen di gantikan Du Bus de Gisignies (1826-1830), seorang kapitalis
Belgia terkemuka. Konsep Du Bus tentang politik kolonial sama atau sejalan
dengan konsep Willem I yang memberikan kebebasan penanaman bersama dengan
peningkatan produksi untuk ekspor sebagai dasar guna memejukan perdagangan dan
pajak tanah. Politik Du Bus memerlukan tanah dan tenaga rakyat ditambah modal kaum Eropa, ketiga
faktor itu akan membuat produksi ekspor. Tanah yang di maksud adalah tanah yang
belum dipergunakan pribumi dan terletak di perdesaan guna menarik tenaga kerja
yang bebas di luar musim tanam dan panen baik pemilik, penggarap tanah, ataupun
buruh tani. Perencanaan pilotik Du Bus bernada sangat optimis terutama mengenai
mentalitas pribumi yang akan meningkatkan taraf hidupnya setelah di beri
dorongan berproduksi lebih besar. Dalam politik du Bus ini, terjadi kemerosotan
dari pemasukan pajak tanah pada suatu pihak serta kurangnya kemajuan hasil
ekspor seperti kopi dan gula.
3.2
Cultuurstelsel
(1830 – 1870)
Sampai
tahun 1830 politik kolonial Belanda berdasar pada prinsip dan praktek yang satu
sama lain saling bertentangan, tetapi sejak tahun 1830 itu politik kolonial
Belanda memperoleh satu sistem yang pasti dan konsekuen, yang kemudian dikenal
dengan nama cultuurstelsel. Sistem yang menjunjung tinggi kebebasan ekonomi dan
perusahaan-perusahaan barat yang kapitalistis, dan yang dapat memberikan
keuntungan disingkirkan karena sistem tersebut memberi keuntungan kepada
Inggris untuk memonopoli perdagangan di Indonesia, sedangkan Belandalah yang
memikul biaya pemerintahan. Melihat penyelewengan-penyelewengan itu Vand den
Bosch mengajukan suatu sistem yang dapat memberikan keuntungan dengan cara yang
sesuai dengan adat kebiasaan tradisional lokal yang kita kenal dengan
cultuurstelsel. Hakikat dari culturstelsel adalah bahwa penduduk, sebagai ganti
membayar pajak tanah sekaligus harus menyediakan sejumlah hasil bumi yang
nilainya sama dengan nilai pajak tanah itu.
Dengan
menjalankan sisten cultuurstelsel ini, kita telah memasuki periode baru dalam
politik kolonial. Seperti telah diterangkan diatas, sistem tersebut lebih
disesuaikan dengan adat kebiasaan pribumi yang telah ada. Kalau dalam pusat pemerintahan,
kolonial dianggap perlu menghormati sistem pemerintahan, maka pada lain pihak
di dalam cultuurstelsel mereka itu tidak lebih adalah pelaksana-pelaksana yang
diperintahkan diatas. Mereka menjadi "pengawas-pengawas perkebunan"
(dikutip dari B.J.O. Schrieke pada buku Indonesia Sociological Studies jilid 1,
hlm. 190).
Hasil-hasil
finansialCultuurstelsel ini bagi Belanda sangat besar. Antara tahun 1831 dan
1877 negara menerima hasil dari daerah jajahan-jajahan kekeyaan sebesar 823
juta gulden. Sistem ini tidak hanya memberi keuntungan bagi pemerintahan namun
juga memajukan perdagangan dan pelayaran Belanda. Sistem ini juga memperkaya
pengusaha-pengusaha pabrik, pedagang-pedagang, yang memberikan modal
perdagangan dan modal industri partikelir. Fakta ini mempunyai akibat-akibat
yang jauh dalam politik kolonial sebelum 1850.
3.3
Permulaan Politik Kolonial Liberal (1850 – 1870)
Periode
antara 1850-1870 ditandai oleh pesatnya kemajuan perdagangan Eropa, dan negara
Belanda mendapat keuntungan dari perkembangan ini. Masa 20 tahun ini bagi
Negeri Belanda merupakam masa transisi dari keadaan praindustri menjadi
industri. Sesungguhnya revolusi industri telah dimulai. Timbullah seperti
cendawa di musim hujan, pabrik-pabrik dalam berbagai cabang industri bermunculan.
Jalan-jalan kereta api didirikan, posisi sebagai penghasil bahan mentah
internasional telah diduduki kembali, pelayaran maju dengan pesat, bank-bank
baru banyak didirikan. Tidak dapat diragukan kembali, bahwa cultuurstelsel ikut serta membantu
membangun kembali ekonomi secara besar-besaran, di samping memasukkan jutaan
kekayaan ke dalam pembendaharaan Belanda.terutama disebabkan oleh berkembangnya
impor hasil-hasil dari Indonesia dan meningkatkan perdagangan transit.
Tahun
1848 merupakan permulaan adanya kesempatan untuk mengadakan reform dalam politik kolonial melalui
saluran parlementer. Pada 1854 Reegerings
Regllement (RR) meletakkan dasar bagi pemerintahan kolonial. Prinsip
liberal tentang kebebasan individu, keamanan hak-hak dan usaha-usaha di dalam
RR itu adalah esensial. Dengan adanya RR konstitusi kolonial mulailah standar
baru bagi pemerintahan di Indonesia dan dipaksakanlah politik yang lebih
liberal. Sejak itu tanaman pemerintah yang kurang penting seperti indigo,
tembakau, teh dihapuskan.
Politik
ekonomi kaum liberal adalah kebalikan dari politik yang diajarkan Willem I.
Prinsip yang dianut adalah prinsip
“tidak campur tangan”; berhubung dengan itu kerajaan harus menarik diri dari
segala campur tangan; segala rintangan terhadap inisiatif individu dan
kebebasan harus dihapuskan, dan segala bantuan pemerintah kepada usaha swasta
harus dihentikan.semua ini berarti runtuhnya politik merkantilisme dan
proteksinisme. Konsekuennya, banyak undang-undang yang melindungi hak-hak
istimewa perusahaan-perusahaan nasional dihapus.
Sistem
ekonomi liberal mempermudah bank ekspor maupun impor modal. Penanaman modal di
Indonesia terutama terjadi pada industri gula, timah dan tembakau yang mulai
berkembang sejak 1885. Dengan dihapusnya cultuurstelsel
secara berangsur-angsur, maka tanaman wajib pemerintah diganti dengan
perkebunan-perkebunan yang diusahakan oleh pengusaha-pengusaha swasta. Kalau
disatu pihak modal modal Belanda diekspor maka dilain pihak modal asing,
khusunya Jerman, ditanam dibeberapa cabang industri di Negeri Belanda.
Singkatnya liberalisasi politik perdagangan Belanda berarti pembukaan Negeri
Belanda bagi perdagangan Internasional. Sebagai negara kecil diantara
negara-negara besar dengan industri-industrinya yang sudah maju, maka sudah
selayaknya kalua Negeri Belanda mengarahkan dirinya ke konstelasi ekonomi umum.
Arah liberal ini berakhir pada 1880, ketika bangsa-bangsa yang besar kembali
lagi protekdinisme. Negeri Belanda sebagian besar mendapat pengikut dikalangan
kaum borjuis yang mengalami emansipasi politik sejajar dengan posisinya yang
kuat di dalam ekonomi politik. Sebetulnya masa 20 tahun (1850-1870) dapat
dianggap sebagai masa konsilidasi ke negara liberal.
Sejak
persoalan-persoalan kolonial tidak ada menjadi rahasia di Staten Generaal, maka parlemen selalu menaruh perhatian terhadap
soal-soal tersebut. Banyak diantara anggota-anggotanya memperluas pengetahuan
mengenai tanah jajahan, maka sudah selayaknya mereka menjadi lebih sensitif
akan kekurangan-kekurangan mereka. Akibat dari perubahan opini tentang politik
kolonial berubah sangat cepat. Sesungguhnya politik kolonial golongan liberal
harus sesuai dengan politik liberal di negeri induk. Jadi mereka menentang
proteksi dan eksploitasi pemerintah di tanah jajahan; menuntut liberalisasi ekonomi
di Hindia-Belanda, sebab itulah maka sistem seperti hak-hak dan tarif-tarif
yang berbeda-beda dan kogsinasi harus di hapuskan.
Sebagai
ganti eksploitasi pemerintah akan dijalankan kebebasan dan kerja wajib akan
diganti dengan kerja bebas. Akan tetapi baik partai liberal maupun partai
konservatif menerima prinsip bahwa tanah jajahan harus membantu kesejahteraan
material negeri induk. Keduanya tidak keberatan Hindia-Belanda menyumbangkan
surplus anggaran belanjanya kepada Negeri Belanda.
Sejak
partai Liberal berkuasa dirintislah modernisasi seperti yang terdapat di Negeri
Belanda. Bank-bank, jalan-jalan kereta api, dinas-dinas pos, perkebunan-perkebunan
swasta timbul. Sesudah 1870 perkembangan ini maju terus dengan pesat.
3.4
Dari Politik Kolonial ke Politik Etis (1870 – 1900)
Pada
1870 Belanda memasuki periode kapitalisme modern. Hasil revolusi selama 20
tahun terwujud dalam perkembangan industri, perkapalan, perbankan, dan
komunikasi yang modern. Volume perdagangan berkembang dengan pesat, sedangkan
perkembangan modal terjadi secara besar-besaran. Sistem perrdagangan bebas
mengatur hubungan-hubungan ekonomi Belanda dengan negara-negara tetangga.
Politik “pintu terbuka” di Hindia-Belanda dan perkembangan
perusahaan-perusahaan swasta mengakibatkan hasil-hasil tanah jajahan lebih
banyak mencari pasaran di negara asing daripada di Negeri Belanda. Politik
pintu terbuka adalah pemerintah Belanda membuka Hindia-Belanda bagi para
pengusaha swasta untuk menanamkan modalnya, khususnya dibidabg perkebunan.
Liberalisme
memberi dorongan baru kepada kemajuan ekonomi. Di dalam sistem baru ini
pengusaha-pengusaha swasta mengambil alih perusahaan-perusahaan yang dahulu
diurus oleh pemerintahan kolonial, dengan cara mengurusnya tetap berjalan
seperti sedia kala, bedanya kalau dahulu hanya ada pemegang saham tunggal,
sekarang jumlah pemegang sahamnya banyak.
Perkembangan
politik kolonial Belanda ada hubungannya dengan keadaan ekonomi dan sistem
politik di Negeri Belanda. Periode 1850 sampai 1870 adalah masa jaya bagi kaum
liberal di Negeri Belanda, sedangkan di Hindia-Belanda merupakan periode
transisi dari politik kolonial konservatif ke politik kolonial liberal.
Perkembangan di Hindia-Belanda bergantung pada perkembangan Negeri Belanda, dan
perkembangan negara-negara modern lainnya.
Menurut
keadaan sistem partai pada tahun 1870-an dapat dikatakan tampak adanya
perkembangan demokratisasi yang meningkat. Proses ini disertai dengan mundurnya
liberalisme. Perpecahan di dalam partai Liberal tidak dapat dielakkan sejak
dilancarkannya isu agama. Partai-partai agama tampil ke depan. Politik partai
semakin berkembang melalui garis-garis keagamaan, seddang garis pemisah antara
liberal dan konservatif menjadi kabur. Dalam waktu 20 tahun, partai-partai baru
ini dapat menentukan arah politik kolonial.
Pada
1890 terbentuk partai sosialis, yang dalam wakttu singkat menjadi pejuang yang
gigih dalam persoalan kolonial. Perbedaan-perbedaan di parlemen makin berpusat
persoalan kolonial. Semua partai memiliki tujuan yang sama, yaitu daerah
jajahan harus dapat menghasilkan keutungan kepada negara induk dan
kesejahteraan penduduk pribumi harus menjadi persoalan yang serius bagi
pemerintah colonial. Ide tentang hak mengeksploitasi tampak jelas di dalam
pemikiran kaum liberal, kaum konservatif, dan kaum beragama dari berbagai
lapisan.
Tahun
1870 sebagai titik balik bagi sejarah politik kolonial Belanda. Satu-satunya
alasan adanya Undang-undang Agraria yang disahkan dan mulai berlaku pada tahun
itu. Beberapa ketentuan dari undang-undang Agraria yaitu pengambil alihan tanah
penduduk pribumi dilarang, dimaksud sebagai cara mencegah timbulnya kekuasaan
yang akan merampas hak milik atas tanah secara semena-mena. Orang-orang asing
diperbolehkan menyewa tanah pertanian dalam jangka waktu 5 tahun. Ketentuan ini
ditunjuk untuk perusahaan, yaitu memberi jalan kepada pengusaha-pengusaha
swasta untuk memakai tanah penduduk. Akan tetapi, tanah dan tenaga kerja
merupakan satu kesatuan, kedua-duanya terjalin pada organisasi politik penduduk
pribumi, sehingga yang menguasai tanag itu dapat menggunakan tenaga penduduk
sewenang-wenang, sebanyak yang dikehendaki. Adapun isi Undang-Undang Agraria
1870, yaitu:
1.
Gubernur jenderal tidak diperbolehkan menjadi
tanah milik pemerintah. Tanah itu dapat disewakan paling lama 75 tahun.
2.
Tanah
milik pemerintah antara lain hutan yang belum dibuka, tanah yang berada di luar
wilayah milik desa dan penghuninya, dan tanah milik adat.
3.
Tanah
milik penduduk antara lain semua sawah, ladang, dan sejenisnya yang dimiliki.
Batu
ujian yang sesungguhnya bagi para pembuat politik kolonial adalah isu tentang
apa yang disebut batig slot (sistem keutungan besih). Sejak
cultuurstelsel dijalankan, Hindia-Belanda menyetor kelebihan uang ke Negeri
Belanda sejumlah antara 10.000.000-40.000.000 gulden setiap tahun. Ketika batig
slot terakhir pada 1877 negeri induk memperoleh keuntungan sebesar 825.000.000
gulden. Isu demikian sudah ada sejak 1864 yakni waktu diterimanya Comptabiliteitswet
(Undang-Undang tentang Keuangan). Di dalam undang-undang tersebut ditetapkan bahwa anggaran belanja
Hindia-Belanda ditentukan berdasarkan Undang-Undang Negeri Belanda. Hubungan
finansial antara Hindia-Belanda dan Negeri Belanda serta batig slot selalu menjadi sasaran kritik bagi yang duduk
di kursi parlemen.
Masalah
menjadi semakin kompleks karena timbulnya suatu sentiment yang sama sekali
menentang politik kolonial lama, yang menuduh pemerintah Negeri Belanda
merampok jutaan kekayaan Hindia-Belanda
di masa lampau dan menuntut restitusi dari surplus yang telah diambilnya
terhitung sejak berlakunya Comptabiliteitswet pada 1867. Usul yang agak
radikal diajukan oleh Van Dedem, yang menuntut dihapuskannya pengambilan
keuntungan dari tanah jajahan oleh negeri induk. Bertentangan dengan persoalan
ini adalah pendapat, bahwa jutaan uang yang dikeluarkan oleh pembendaharaan
Negeri Belanda boleh jadi tidak banyak menguntungkan pribumi tetapi lebih
menguntungkan orang-orang Eropa, penanam kopi dan gula. Pendirian ketiga
berpendapat, bahwa jutaan uang yang dihasilkan oleh Hindia-Belanda harus
dibelanjakan untuk kepentingan perkembangan di Hindia-Belanda kecuali bagian
yang menjadi hak Negeri Belanda.
Sejak
dihapuskannya batig slot, berkembanglah suatu mentalitas baru mengenai
kesejahteraan bangsa Indonesia dan berpengaruh diantara para politisi.
Bersamaan dengan itu muncul suatu orientasi politik kolonial baru yang terarah
ke prinsip “Hindia-Belanda untuk orang pribumi”` dengan berpijak pada
kepentingan pribumi tuntutan pembayaran kembali keuntungan bersih, politik
keuangan colonial dikritik sangat pedas, rencana perbaikan dibuat. Janji-janji
tertuju pada kepentingan pribumi di Hindia-Belanda terus menerus diucapkan,
tetapi hampir-hampir tidak ada yang dikerjakan untuk meningkatkan penghidupan
pribumi.
Sepanjang
abad ke-19 tentara kolonial terus-menerus melancarkan peperangan terhadap
penguasa-penguasa lokal, raja-raja kecil, dan sultan-sultan. Diantaranya hanya
peperangan kecil, tetapi ada juga yang mendatangkan bencana dan memayahkan,
seperti perang Diponegoro (1825-1830), Perang Padri (1831-1839) dan Perang Aceh
(1874-1904).
Ada
pun yang menjadi alasan konflik adalah “pembawa perdamaian dan ketertiban”.
Konflik lokal atau perang saudara setiap saat dijadikan dalih pemerintah
Belanda untuk melakukan intervensi. Belanda tampaknya menggunakan teori
pedalaman (theory of the hiterland) dan dalam mengadakan
perjanjian-perjanjian politik dengan penguasa-penguasa lokal atau raja pesisir,
membatasi diri hanya untuk memperoleh pengakuan kedaulatan.
Ekspedisi-ekspedisi
militer ini menimbulkan kritik pedas dari berbagai pihak. Perang Aceh yang
tampaknya tak kunjung selesai, menguras harta negara, sehingga usaha-usaha umum
yang produktif terpaksa dikesampingkan. Kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh
tentara kolonial sangat menggoncangkan pendapat umum, dan banyak politisi yang
menganggaptak ada alasan untuk melanjutkan perang ini. Kritik kritik yang
paling tajam dilancarkan oleh kaum kapitalis, yang menghendaki agar pemerintah
kolonial membuka daerrah baru untuk investasi-investasi modal.
3.5
Menjelang Politik Etis (1900)
Politik
Liberal yang berlangsung sebelum adanya sistem politik ethis menekankan harus
ada keuntungan yang diberikan oleh tanah jajahan kepada negara induk, yakni
Belanda. Masalah yang terus terjadi dalam berbagai sistem yang diterapkan oleh
pemerintah kolonial adalah mengenai cara mengeksplorasi tanah jajahan. Partai
agama (Roma Katolik, Anti Revolusioner, dan Kristen Historis) yang bersifat
humaniter menekankan politik yang berbasis pada agama, kerja bebas, dan tuntutan
moral dari negara induk. Juga dianggap sangat perlu untuk mengadakan perbaikan
keuangan dan cara mengeksploitasi sumber daya alam tanah jajahan, mengangkat
hak dan kepentingan serta moral masyarakat pribumi.
Cara
untuk mengangkat derajat masyarakat pribumi adalah dengan melakukan misi
penyebaran agama dan peradaban serta mengasimilasikan meraka ke dalam budaya
Barat. Menurut kaum humaniter, tujuan akhir politik kolonial seharusnya untuk
meningkatkan kesejahteraan dan perkembangan moral masyarakat pribumi, evolusi
ekonomi, dan bukan eksploitasi, melainkan pertanggungjawaban moral.
Politik
etis mempunyai orientasi kepada paham humanis, menguntungkan penduduk pribumi,
mengejar politik kesejahteraan, dan menjadi makin kuat. Adapu 3 slogan utama
poltik ethis, yaitu: irigasi, edukasi, dan imigrasi.
Mr.
Conrad Theodore van Deventer, Seorang politikus dan ahli hukum Belanda. Beliau
memulai karier sebagai ahli hukum ketika bertolak ke Indonesia. Selama di
Indonesia, beliau tergugah oleh nasib bangsa Indonesia yang tanah airnya
dijadikan daerah jajahan dan eksploitasi demi kemakmuran negeri Belanda.
Realitas kehidupan yang beliau saksikan di Indonesia mendorongnya menulis
sebuah artikel dalam majalah De Gids yang berjudul Een Ereschuld
(Hutang Budi/Hutang Kehormatan).
Dalam
artikelnya beliau meminta kepada negaranya (Belanda) untuk mengembalikan hak
kaum bumiputera (di Hindia Belanda) yang telah memberikan kemakmuran bagi
negeri Belanda. Oleh karena itu, beliau mengusulkan tiga hal pokok kepada
pemerintah Belanda yang dikenal dengan politik etis atau politik balas budi.
Tulisannya itu mendesak parlemen Belanda dan menggugah Ratu Belanda untuk
mengeluarkan maklumat etis.
Menanggapi
situasi yang berkembang pada awal abad ke-20, Ratu Belanda dalam pidato tahun
1901 menyatakan bahwa Negeri Belanda mempunyai kewajiban untuk mengusahakan
kemakmuran serta perkembangan social dan otonomi dari pendudukHindia. Oleh
karena itu, Belanda melakukan politik balas budi (politik etis) kepada rakyat
Indonesia, yang dimulai dengan memberikan bantuan sebesar 40 juta gulden.
1.
Latar Belakang Munculnya
Politik Etis
Munculnya politik
etis dilatarbelakangi oleh hal-hal berikut ini.
a.
Pelaksanaan sistem tanam
paksa yang menguntungkan Belanda, tetapi menimbulkan penderitaan rakyat
Indonesia telah menggugah hati nurani sebagian orang Belanda.
b.
Eksploitasi terhadap tanah
dan penduduk Indonesia dengan system ekonomi liberal tidak mengubah nasib buruk
rakyat pribumi. Sementara itu, kaum kapitalis dari Belanda, Inggris, Amerika,
Belgia, Cina, dan Jepang memperoleh keuntungan yang sangat besar.
c.
Upaya Belanda untuk
memperkokoh pertahanan negeri jajahan dilakukan dengan cara penekanan dan
penindasan terhadap rakyat.Rakyat kehilangan hak miliknya yang utama yaitu
tanah. Bahkan, industry rakyat pun terdesak. Karena penderitaan itu, timbullah
golongan yang sama sekali tidak mempunyai tanah. Mereka termasuk dalam golongan
buruh yang bekerja pada perkebunan, pabrik, dan tambang.
d.
Adanya kritik dari kaum
intelektual Belanda sendiri (Kaum Etisi) terhadap praktik liberal kolonial,
seperti van Kol, van Deventer, de Waal, Baron van Hoevell, dan Van den Berg.
1.
Van Kol, sebagai juru
bicara golongan sosialis, melancarkan kritik terhadap keadaan yang serba
merosot di Indonesia karena terus-terusan diterapkan politik drainage (penghisapan) kekayaan oleh
pemerintah Belanda dan tidak dibelanjakan di Indonesia.
2.
Van Deventer, pada tahun
1899 dalam artikelnya pada majalah De
Gids berjudul Een Eereschuld
(hutang kehormatan) menuliskan bahwa jutaan gulden yang diperoleh dari Indonesia
sebagai Hutang Kehormatan. Pembayaran
hutang tersebut dapat dilakukan dengan tiga cara, yang dikenal dengan Trilogi Van Deventer, yaitu.
•
Irigrasi (pengairan)
•
Emigrasi (perpindahan
penduduk), dan
•
Edukasi (pendidikan).
3.
De Waal memperhitungkan
bahwa sejak VOC hingga zaman ekonomi liberal (1884), rakyat Indonesia berhak
mendapatkan 528 juta gulden dari Belanda. Bahkan apabila dihitung dengan
bunganya maka menjadi 1585 juta gulden.
4.
Baron van Hoevell, seorang
pendeta Protestan yang secara berapi-api meminta perbaikan nasib rakyat
Indonesia dan siding parlemen.
2.
Pelaksanaan Politik Etis
Sejak tahun 1901, pemerintah
colonial mulai memerhatikan aspirasi rakyat Indonesia yang menginginkan
emansipasi dan kemerdekaan. Kemudian dicari bentuk pemerintahan colonial yang
merupakan perpaduan antara Barat dan Timur. Oleh karena itu, politik etis juga
disebut dengan politik asosiasi.
Perubahan berhasil dicapai dengan politik etis,
antara lain sebagai berikut.
a.
Desentralisasi
pemerintahan, yang diwujudkan dengan diumumkannya Undang-Undang Desentralisasi
(1903) tentang pembentukan dewan-dewan local sebagai lembaga hukum. Dewan local
mempunyai wewenang membuat peraturan mengenai pajak dan pembangunan
sarana-prasarana umum. Kemudian, pembentukan Dewan Rakyat (Volksraad) pada tahun 1916 dan diresmikan pada tahun 1919.
b.
Pembangunan irigasi untuk
menunjang kebutuhan pertanian. Pada tahun 1914, pemerintah colonial telah
membangun irigasi seluas 93.000 bau.
c.
Emigrasi (transmigrasi)
perpindahan penduduk, terutama bagi penduduk di Pulau Jawa yang semakin padat.
d.
Edukasi, dengan
didirikannya bermacam sekolah bagi semua golongan masyarakat, seperti sekolah
kelas I (untuk anak-anak pegawai negeri, orang berkedudukan, dan orang
berharta); sekolah kelas II (untuk anak-anak pribumi pada umumnya); sekolah
pamong praja (OSVIA); dan sekolah
dokter Jawa (STOVIA).
e.
Perbaikan kesehatan dan
penanggulangan penyakit. Pada tahun 1920, dilaporkan bahwa sebagian besar
wilayah Indonesia telah terbebas dari epidemic cacar dan sesudah 1928 terbebas
pula dari wabah kolera.
3.
Kegagalan Politik Etis
Reaksi terhadap pelaksanaan
politik etis mulai muncul pada tahun 1914. Masyarakat mulai bergolak dan banyak
melancarkan kritik terhadap politik etis yang dianggap telah gagal. Kegagalan tersebut
Nampak dalam kenyataan-kenyataan sebagai berikut.
a.
Sejak pelaksanaan sistem
politik ekonomi liberal Belanda mendapatkan keuntungan yang sangat besar
sekali, sedangkan tingkat kesejahteraan rakyat pribumi masih tetap rendah.
b.
Hanya sebagian kecil kaum
pribumi yang memperoleh keuntungan dan kedudukan yang baik dalam masyarakat
colonial, yaitu golongan pegawai negeri.
c.
Pegawai negeri dari
golongan pribumi hanya digunakan sebagai alat saja sehingga dominasi bangsa
Belanda tetap saja sangat besar.
BAB III
KESIMPULAN
Konservatisme adalah sebuah
filsafat politik yang mendukung nilai-nilai tradisional. Istilah ini berasal
dari kata dalam bahasa Latin, conservare, yang artinya melestarikan, menjaga,
memelihara, mengamalkan. Karena berbagai budaya memiliki nilai-nilai yang mapan
dan berbeda-beda, kaum konservatif di berbagai kebudayaan mempunyai tujuan yang
berbeda-beda pula. Politik kolonial konservatif berkembang di Hindia-Belanda
sejak 1800-1848, politik kolonial konservatif berakhir pada tahun 1848 karena
dianggap gagal karena tidak mampu mendapat keuntungan yang sebesar dulunya.
Culturstelsel mulai
diberlakukan sejak tahun 1830, sistem ini menjunjung tinggi kebebasan ekonomi
dan perusahaan-perusahaan barat yang kapitalis. Hasil dari culturstelsel bagi
Belanda sangat besar. Antara tahun 1831-1877 negara Belanda menerima hasil dari
daerah jajahan sebesar 823 gulden.
Pada 1854 Reegerings
Regllement (RR) meletakkan dasar bagi pemerintahan kolonial, yaitu
menjadikan liberal sebagai landasan politik Kerajaan Belanda. Dengan dihapusnya
cultuurstelsel, maka tanam wajib pemerintah diganti dengan perkebunan
yang diusahakan oleh pengusaha swasta. Partai Liberal berkuasa karena partai
konservatif sudah tidak dipercaya oleh parlemen.
Perubahan
kepemilikan lahan dan modal, awalnya milik pemerintah menjadi milik swasta. Munculnya
partai keagamaan, karena garis pemisah antara partai liberal dan konservatif
mulai kabur. Terbentuknya partai sosialis, lawan dari partai liberalis. Berlakunya
Undang-Undang Agraria, berlakunya Comptabiliteitswet pada 1867 serta ekpedisi
militer Kolonial Belanda terhadap suku serta raja kecil di Hindia-Belanda.
Sejak tahun 1901, pemerintah
colonial mulai memerhatikan aspirasi rakyat Indonesia yang menginginkan
emansipasi dan kemerdekaan. Kemudian dicari bentuk pemerintahan colonial yang
merupakan perpaduan antara Barat dan Timur. Oleh karena itu, politik etis juga
disebut dengan politik asosiasi. Van
Deventer merupakan kaum intelektual Belanda yang mempelopori politik etis
dengan 3 cara ; Edukasi, Irigasi dan Emigrasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Kartodidjo, Sartono. 1987. Pengantar Sejarah Indonesia baru 1500-1900 dari Emporium sampai Imporium jilid 1.Jakarta:PT
Gramedia
Kartodirjo,
Sartono. 2015. Pengantar Sejarah
Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional. Ombak: Yogyakarta
Kartodidjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme
sampai Nasionalisme jilid 2. Jakarta:PT Gramedia.1992.
Riklefs, M.C.
2016. Sejarah Indonesia Modern.
Gadjah Mada University Press: Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar