PEMANFAATAN SUMBERDAYA ARKEOLOGI
DALAM PEMBENTUKAN IDENTITAS DAN
JATI DIRI BANGSA
Dibuat
untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Arkeologi
Dosen
Pengampu : Arif Permana Putra, M.Pd.
Disusun
oleh,
Kelompok
2 :
Nuhiyah
Lucas Bagas
Pangestu
|
2288150010
2288150026
|
JURUSAN
PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
SULTAN AGENG TIRTAYASA
OKTOBER,
2016
KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Segala puji bagi Allah karena telah
memberikan limpahan nikmat dan karuniaNya,
Sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan Makalah “Pemanfaatan Sumberdaya
Arkeologi dalam Pembentukan Identitas dan Jati Diri Bangsa” ini. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan pada junjungan kita Nabi
Agung Muhammad SAW yang kita nantikan syafa’atnya di yaumul akhir nanti.
Penyusunan
makalah ini di dasari pada tinjauan pustaka. Makalah ini disusun dalam rangka untuk
menyelesaikan tugas Mata Kuliah Pengantar Arkeologi. Pada kesempatan ini kami
menyampaikan terima kasih kepada Bapak Arif
Permana Putra, M.Pd. selaku Dosen Mata Kuliah Pengantar
Arkeologi dan semua pihak yang telah
memberikan bantuannya sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Oleh karena itu, Kritik dan saran dari pembaca
sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Serang, Oktober 2016
Penyusun
|
i
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR.............................................................................................. i
DAFTAR
ISI............................................................................................................ ii
BAB
I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang............................................................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah........................................................................................... 2
1.3
Tujuan............................................................................................................. 3
BAB
II PEMBAHASAN
2.1.
Sumber Daya
Arkeologi................................................................................. 3
2.2.
Arkeoligi,
Identitas dan Jati Diri Bangsa....................................................... 4
2.3.
Kearifan Lokal dan Pemberdayaan
Arkeologi............................................... 6
2.4.
Manajemen Sumber
Daya Arkeologi.............................................................. 8
2.5.
Konsep Pemberdayaan
Sumber daya Arkeologi............................................ 9
2.6.
Strategi
Pemberdayaan Arkeologi................................................................ 12
BAB
III KESIMPULAN....................................................................................... 16
DAFTAR
PUSTAKA............................................................................................ 17
ii
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perubahan sistem politik
dari era orde baru ke era reformasi, mengakibatkan masyarakat mulai kritis
berani menyatakan pendapat, pikiran, dan bahkan mengritik kinerja pemerintah.
Demikian pula yang terjadi dalam dunia arkeologi, masyarakat memperhatikan
kinerja arkeologi dalam pengelolaan warisan budaya. Oleh karena itu, masyarakat
tidak lagi bersikap apatis dan menunggu inisiatif pemerintah seperti yang
terjadi pada masa Orde Baru. Sebaliknya pada era reformasi ini, mereka lebih
bersikap proaktif dan bahkan mulai berani menuntut hak-haknya untuk dapat ikut
berpartisipasi dalam pengelolaan warisan budaya. Keadaan ini muncul, antara
lain didorong semakin tingginya kesadaran masyarakat, bahwa sumber daya
arkeologi pada hakekatnya adalah warisan milik bersama yang seharusnya dapat
bermanfaat untuk kepentingan bersama.
Namun demikian, aspirasi tersebut
tidak segera ditanggapi oleh para pengemban kebudayaan, khususnya lembaga
pemerintah pengelola kepurbakalaan. Seharusnya aspirasi masyarakat yang
demikian besar itu mendapat respon dari pemerintah dengan penyusunan Peraturan
Daerah secara bersama tentang warisan budaya Kurangnya perhatian pemerintah
terhadap fenomena tersebut dikawatirkan organisasi sosial yang cukup banyak
jumlahnya akan berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan kemauannya yang berbeda
dengan peraturan pemerintah.
Berdasarkan berbagai pandangan
tersebut, maka tulisan ini akan memfokuskan pembahasan interaksi arkeologi pada
aspek pemberdayaan masyarakat di sekitar situs.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan
Sumber Daya Arkeologi?
2. Bagaimana hubungan
antara Arkeologi, Identitas dan Jati Diri Bangsa?
3. Bagaimana hubungan
antara Kearifan Lokal dan
Pemberdayaan Arkeologi?
4. Bagaimana Manajemen Sumber Daya Arkeologi?
5. Bagaimana Konsep Pemberdayaan Sumber daya Arkeologi?
6. Bagaimana Strategi Pemberdayaan Arkeologi?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui
Pengertian Sumber Daya Arkeologi
2. Untuk mengetahui
hubungan antara Arkeologi, Identitas dan Jati Diri Bangsa
3. Untuk mengetahui Kearifan Lokal dan Pemberdayaan
Arkeologi
4. Untuk mengetahui Manajemen Sumber Daya Arkeolog
5. Untuk mengetahui Konsep Pemberdayaan Sumber daya
Arkeologi
6. Untuk mengetahui Strategi Pemberdayaan Arkeologi
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
Sumber
Daya Arkeologi
Setidaknya
ada tiga istilah utama yang berbeda untuk menyebut sumberdaya arkeologi.
Istilah tersebut yaitu, Archaeological Resource (sumberdaya arkeologi), Cultural
Heritage (warisan budaya), dan Cultural Resource (sumberdaya budaya)
(Carman, 2002).
Pertama,
istilah sumberdaya arkeologi (Achaeological Resource), dalam
penerapannya hanya mencakup situs, fakta-fakta fisik yang mencakup lansekap dari
masyarakat masa lampau, serta semua fakta fisik prilaku manusia masa lampau yang
dapat digunakan untuk merekonstuksi cara-cara hidup masyarakat masa lampau (Carman,
2002).
Kedua,
warisan budaya. Kata warisan budaya seringkali digunakan pada objek yang telah
terdaftar dan dilindungi oleh hukum atau produk perundangan. Pengertian dan
cakupan warisan budaya sendiri, oleh beberapa orang ditafsirkan berbeda-beda. Menurut
Howard (2003), warisan budaya adalah segala sesuatu yang oleh seseorang diharapkan
untuk dilestarikan atau dikoleksi dengan jumlah yang terbatas. Objek warisan
budaya mencakup budaya material dan alam yang mempunyai nilai dan mempunyai
fungsi keduniawian (Howard, 2003). Feilden dan Jokilehto (1993), menyatakan
warisan budaya adalah hasil dari sebuah proses yang bernilai, mempunyai syarat-syarat,
dan dapat digunakan untuk kepentingan masyarakat sekarang (Feilden dan
Jokilehto, 1993). Warisan budaya adalah semua objek dan sisa bekas manusia masa
lampau yang dapat memberikan gambaran tentang sejarah manusia, baik yang berada
di atas permukaan tanah maupun yang di bawah air (Cleere, 1989; Trotzig, 1993
dalam Carman, 2002). Menurut Hardy (1988) warisan budaya adalah mata rantai masa
lalu, yang merupakan representasi beberapa macam warisan dari generasi ke generasi
yang meliputi tradisi dan budaya material (Hardy, 1988 dalam Timothy dan Boyd,
2003: 2).
Dalam
konvensi warisan dunia oleh Unesco, secara garis besar warisan budaya terdiri
dari monumen, kumpulan bangunan dan situs. Monumen mencakup karya patung dan
lukisan yang monumental, karya arsitektur, elemen atau struktur yang bersifat
arkeologis, prasasti, gua hunian dan kombinasi ciri-ciri yang memiliki nilai universal
dan luar biasa dari sudut pandang sejarah, seni atau sains. Kumpulan bangunan
mencakup kumpulan bangunan terpisah atau terhubung yang karena arsitektur,
homogenitas, atau tempatnya dalam lansekap, memiliki nilai universal luar biasa
dari sudut pandang sejarah, seni atau sains. Situs mencakup karya manusia atau gabungan
antara karya manusia dengan karya alam dan kawasan yang termasuk situs arkeologis
yang memiliki nilai universal luar biasa dari sudut pandang sejarah, estetika, etonologi
atau antropologi (Unesco, 2005).
Ketiga,
sumberdaya budaya. Sumberdaya budaya adalah hasil interaksi dan atau intervensi
manusia terhadap lingkungan alam. Istilah sumberdaya budaya mencakup semua
manifestasi dari manusia baik yang berupa bangunan, lansekap, artefak, literatur,
seni, maupun lembaga budaya (Pearson dan Sullivan, 1995). Sumberdaya budaya,
termasuk berbagai hal yang dilindungi oleh undang-undang, termasuk idea atau
pikiran yang dapat memberi informasi tentang aktivitas manusia masa lampau (Fowler,
1982; Lipe, 1984 dalam Carman, 2002). Menurut Aplin (2002), sumberdaya budaya
adalah hasil-hasil dari proses aktivitas manusia. Hasil proses ini mencakup budaya
material dan budaya non-material seperti religi dan tradisi.
2.2.
Arkeologi,
Identitas dan Jati Diri Bangsa
Ada berbagai kasus yang dapat diidentifikasi bagaimana
arkeologi berperan dalam politik. Beberapa negara sukses menggunakan
hasil-hasil penelitian arkeologi untuk menjustifikasi rezim dan patokan
territory dari masa lampau. Mussolini, diktator fasis Italia mengklaim bahwa
wilayah-wilayah yang pernah dikuasai kekasairan Romawi harus menjadi wilayah
Italia. Alasan ini kemudian digunakan untuk menginvasi Afrika untuk menjadikan
laut Mediterania sebagai danau Italia sebagaimana yang pernah dilakukan
kekaisaran Romawi. Saddam Husein membangun rezimnya dengan mensejajarkan Iraq
sebagai Babilonia yang menguasai wilayah Timur Tengah pada Millenium ke-dua.
Di Jerman, hasil penelitian arkeologi dijadikan sebagai alat
propaganda NAZI antara tahun 1930 hingga 1940. Pada saat itu, beberapa arkeolog
menggunakan style tembikar untuk mengidentifikasi kelompok etnis yang
”istimewa” dan menggunakan tinggalan tengkorak untuk melihat perbedaan ras. NAZI
kemudian menggunakan hasilnya untuk membuat peta ras di Eropa dan mengidentifikasi
ras arya sebagai ras yang superior. Lebih lanjut, ekskavasi yang dilakukan
menemukan data bahwa artefak (mangkuk yang bergambar swastika) yang berasal
(asli) Jerman ternyata juga berada di Polandia. Hal ini kemudian yang mendasari
Jerman menyerang Polandia dan memicu perang dunia ke-dua (Grant, et.all, 2002).
Walau kemudian faktanya bahwa swastika merupakan simbol dari indian kuno.
Melihat dari berbagai contoh negara yang sukses menggunakan
sumberdaya arkeologi dalam membangun identitas dan menguatkan jati diri bangsa,
sudah saatnya Indonesia melakukan hal serupa. Tidak saja bertujuan untuk
mengangkat derajat bangsa, tetapi juga membentengi diri terhadap efek
globalisasi sehingga Indonesia tidak dihegemoni oleh imperialisme modern. Pada
tahap ini, arkeologi sebagai ilmu budaya harus melakukan introspeksi dan
reorientasi.
Arkeologi Indonesia harus mengungkap nilai-nilai yang
terkandung dibalik sumberdaya arkeologi. Tugas arkeologi kemudian menjadi
penerjemah atau interpreter budaya masa lampau versi masa kini, dengan kata
lain bahwa pengetahuan arkeologi harus dilihat sebagai produk sosial masa kini
(Hodder, 1989). Sumberdaya arkeologi harus diinterpretasi berdasarkan konteks sosial
masyarakat dan politik dewasa ini.
Untuk mengungkap dimensi ideologis dan simbolis dalam budaya
material peninggalan masa lampau, maka budaya material tersebut harus dilihat
sebagai sebuah “teks”. Sebagimana teks naskah-naskah kuno atau karya sastra,
pembaca teks belum tentu dapat menangkap secara tepat apa yang ingin
disampaikan oleh sipembuat naskah. Kaitannya dengan arkeologi bahwa jika budaya
material dilihat sebagai sebuah teks, maka arkeolog yang berfungsi sebagai
penerjemah teks tersebut (Hodder, 1989; Johnson, 1999; Supriadi, 2007).
Hasil-hasil penelitian arkeologi tidak lagi hanya menjadi
laporan demi kesenangan arkeolog semata. Arkeolog harus turun dari “menara
gadingnya” untuk memberikan penyadaran-penyadaran tentang nilai-nilai luhur
bangsa ini baik kepada negara maupun masyarakat. Negara dan masyarakat harus
“diingatkan” tentang budaya sendiri sebagai identitas bangsa sehingga tidak
tergerus oleh globalisasi.
2.3.
Kearifan
Lokal dan Pemberdayaan Arkeologi
Dalam persepktif akademik, pemanfaatan Cagar Budaya diarahkan pada
peningkatan partisipasi masyarakat secara aktif, karena perubahan paradigma
mengenai Cagar Budaya itu sendiri, dimana pemilik syah dari Cagar Budaya adalah
masyarakat. Oleh karena itu pelibatan masyarakat menjadi hal yang penting
dilakukan dalam pemanfaatan Cagar Budaya.
Sudah saatnya pemerintah berperan sebagai fasilitator dalam
pengelolaan dan pemanfaatan Cagar Budaya untuk membantu masyarakat dalam proses
pemaknaan atau pemanfaatan Cagar Budaya itu. Para pengelola Cagar Budaya dari
unsur pemerintah dapat memberikan masukan-masukan sesuai dengan keahlian dan
pengetahuan, sehingga masyarakat dapat menentukan pilihan mereka sendiri dengan
tepat.
Kearifan budaya nenek moyang saat ini disadari bahwa banyak hal
yang sudah sangat maju dan lebih berkualitas. Namun banyak aktivitas atau
tindakan sehari – hari masyarakat yang merupakan kearifan tradisional terbukti
efektif sebagai metode konservasi yang efektif dan aman serta lebih ramah
lingkungan.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh Balai Konservasi
Peninggalan Borobudur dan saat ini diketahui dan sedang diperdalam dengan
tujuan agar menjaga kearifan lokal yang masih bertahan dalam kehidupan
masyarakat kita yaitu antara lain;
- Konservasi kayu dengan bahan tembakau –
cengkeh
Konservasi kayu dengan bahan tembakau cengkeh merupakan
pengembangan bahan dan metode konservasi berbasis kearifan tradisional yang
saat ini paling maju, metode ini diakui, teruji, bahkan sudah masuk dalam
petunjuk teknis konservasi kayu yang disusun oleh Direktorat Peninggalan
Purbakala. Metode ini didasarkan pada tradisi masyarakat Kudus dalam melakukan
pemeliharaan rumah tradisional. Metode ini terbukti sangat efektif serta
memberikan tampilan permukaan kayu yang bagus dan terlihat alamiah,
- Konservasi batu dengan tanah liat
Batu yang terpendam dalam tanah tidak akan ditumbuhi moss atau
mikroorganisme lainnya, karena tidak memungkinkan terjadinya fotosintesis. Maka
dari itu diketahui bahwa batu yang ditutup permukaannya dengan tanah akan
mengalami hal yang sama. Oleh karena itu, penutupan batu dengan tanah liat
sampai beberapa hari bisa efektif sebagai cara untuk mematikan organisme
fotosintetik.
- Penjamasan Keris
Penjamasan adalah proses pemeliharaan keris secara tradisional.
Penjamasan biasanya dilakukan setahun sekali dengan diikuti ritual adat. Dahulu
penjamasan dipandang sebagai upacara sakral, namun saat ini kita bisa
memandangnya sebagai metode konservasi. Dalam penjamasan tersebut terjadi
proses pembersihan, pemeliharaan, hingga pelapisan permukaan logam sehingga
menjadi awet.
- Pengawetan kayu dengan cara direndam
sebelum digunakan
Pengawetan kayu merupakan tantangan dalam bidang teknologi kayu
agar kayu dapat dipergunakan dalam waktu yang lama. Masyarakat di berbagai
daerah seringkali menggunakan cara perendaman sebelum kayu tersebut digunakan.
Secara empiris perendaman kayu memang dapat mengawetkan kayu, namun bagaimana
mekanisme yang terjadi sehingga kayu bisa menjadi awet. Selama proses
perendaman berbagai mikroba tumbuh dan menggunakan nutrisi yang terdapat dalam
kayu sebagai bahan metabolisme. Kandungan nutrisi dalam kayu menjadi habis,
sehingga setelah kayu digunakan kayu menjadi tidak disukai oleh serangga maupun
organisme perusak kayu.
Dari hasil kajian yang telah dilakukan oleh Balai Pelestarian Cagar
Budaya Makassar tentang perawatan bangunan kayu dengan cara tradisional
masyarakat Toraja, dan masyarakat Bugis Makassar, diperoleh data bahwa
masyarakat dalam melakukan pengawetan kayu yakni dengan cara perendaman pada
lumpur. Namun ada hal baru yang didapat pada saat pengumpulan data yaitu pada
masyarakat Toraja Utara selain melakukan metode perendalam di lumpur masyarakat
Tana Toraja juga melakukan perendaman dengan menggunakan tuak (ballo)
minumak khas masyarakat Toraja.
2.4.
Manajemen
Sumber Daya Arkeologi
Sumberdaya arkeologi adalah budaya-budaya materi masa
lalu. Sumberdaya arkeologi ini rapuh dan tidak dapat diperbaharui. Konsekuensi
dari sifat tersebut adalah melestarikannya. Sumberdaya arkeologi harus dilestarikan
karena itu adalah bukti sejarah. Kebenaran adalah kepercayaan yang dibuktikan
dengan fakta. Jika suatu sejarah diceritakan oleh orang-orang terdahulu melalui
prasasti, maka nilai sejarahnya hanya sebatas kepercayaan. Jika bukti sejarah
ada, maka sejarah tersebut akan melampaui nilai kepercayaan atau dengan kata
lain akan sampai kepada nilai kebenaran sejarah.
Sebuah negara adalah sebuah organisasi. Setiap negara mengurusi
negaranya masing-masing tapi
itu tidak menutup kemungkinan untuk berhubungan dengan negara-negara lain.
Dalam setiap negara, aturan-aturan atau hukum-hukum dibuat untuk mengatur
manusia mulai dari keilmuan, pernikahan, pembangunan, sumber daya alam, hingga
ke sumberdaya arkeologi. Tujuannya pastilah agar tercipta hubungan baik antar
manusianya.
Sumberdaya arkeologi adalah milik negara. Artinya
sumberdaya arkeologi adalah milik semua manusia yang ada dalam suatu negara.
Saat ini, berlaku otonomi daerah. Jadi, sumberdaya arkeologi milik semua orang
yang berada di suatu daerahnya masing-masing. Konsekuensinya adalah semua orang
berhak atas sumberdaya arkeologi. Demi mengendalikan hak orang-orang terhadap
sumberdaya arkeologi, maka haruslah ada hakim, yaitu aturan atau hukum.
Ilmu yang mempelajari benda-benda peninggalan masa lalu
adalah arkeologi. Benda-benda peninggalan masa lalu itu adalah sumberdaya
arkeologi. Oleh karena itu, disamping hukum, arkeolog berperan penting dalam
mengendalikan hak orang-orang yang berkepentingan terhadap sumberdaya
arkeologi.
Aturan yang paling mendasar dalam pemanfaatan sumberdaya
arkeologi adalah tidak boleh merusaknya. Itu adalah konsekuensi dari sifat
sumberdaya arkeologi. Agar orang-orang yang berkepentingan terhadap sumberdaya
arkeologi ini dapat memanfaatkan sumberdaya arkeologi tanpa saling merugikan—sehingga
dapat menimbulkan konflik kepentingan—, maka sumberdaya arkeologi perlu
dikelola atau pada sumberdaya arkeologi dibutuhkan manajemen yang tepat.
Manajemen sumberdaya arkeologi adalah cabang dari ilmu
arkeologi. Orang yang menekuni bidang ini, berperan penting dalam mengendalikan
hak orang-orang yang berkepentingan terhadap sumberdaya arkeologi. Sebelum
menentukan kebijakan apa yang akan diambil, terlebih dulu dilakukan penelitian,
yaitu: identifikasi masalah dan potensi sumberdaya arkeologi, perancangan
solusi, setelah itu, barulah monitoring dan evaluasi.
Contoh kasus konflik sumberdaya arkeologi adalah konflik
kepentingan di Kawasan wisata bersejarah di Banten Lama,
dimana tempat – tempat bersejarah yang harusnya menjadi kawasan wisata arkeologis
tetapi banyak masyarakat yang menyalahgunakan kunjunganya ke situs bersejarah
di Banten Lama,
seperti Keraton Kaibon yang dijadikan sebagai tempat pernikahan, tempat membuat
mesum, begitupun juga dengan Keraton Surosowan yang dijadikan tempat pembuangan
air besar, Benteng Speelwijk yang menjadi arena bermain sepakbola dengan adanya
gawang didalam benteng, hal ini bisa terjadi karena kurang perhatianya
pemerintah untuk mengkonservasi situs bersejarah di Banten Lama, dan kesadaran
masyarakat yang sangat minim akan betapa pentingnya melestarikan dan menjaga
cagar budaya. Pemerintah Kota Serang menemukan permasalahanya serta badan-badan
dinas dalam sebuah rapat membahas masalah ini. Hasil dari rapat, akan diadakan
survey bersama. Di samping itu, sebuah tim dari kalangan arkeolog juga turun
tangan untuk menyelesaikan konflik ini. laporan yang harusnya menjadi
rekomendasi pengambilan keputusan Pemerintah Kota Serang.
2.5.
Konsep
Pemberdayaan Sumber daya Arkeologi
Konsep pemberdayaan dalam tulisan
ini, diartikan sebagai upaya untuk memampukan masyarakat di sekitar situs dalam
konteks kepentingan pengelolaan warisan budaya, dengan cara mendorong,
memotivasi sekaligus membangkitkan kesadaran masyarakat akan potensi yang
dimilikinya, serta berupaya mengembangkannya untuk memperoleh kemandirian dalam
meningkatkan taraf hidupnya. Masyarakat di sekitar situs arkeologi yang
dimaksud adalah masyarakat yang bermukim di sekitar situs dalam wilayah
administratif desa atau pun kecamatan tergantung dari luas wilayah situs dan
mereka yang memiliki interaksi dengan situs tersebut. Mereka inilah yang
diberdayakan tidak terbatas dari aspek ekonomi, tetapi juga aspek sosial,
budaya, bahkan politis sesuai dengan keperluan.
Definisi pemberdayaan tersebut
menyiratkan empat kata kunci yang memiliki makna strategis, yaitu pertama Upaya,
kata ini tidak hanya mengacu pada berkelanjutan, melainkan juga merujuk pada
proses yang terstruktur dan seimbang. Dalam proses tersebut terdapat
keseimbangan antara out put dengan kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat itu
sendiri. Kedua adanya peningkatan kemampuan, artinya apa yang telah diupayakan
harus ada input positifnya untuk masyarakat yang menjadi subyek pemberdayaan.
Ketiga adanya kemandirian, merupakan akumulasi dari kemampuan yang diperoleh
dari kegiatan pemberdayaan, sehingga mayarakat tidak tergantung dari pihak
lain. Keempat, peningkatan taraf hidup yang lebih baik, merupakan tujuan akhir
dari pemberdayaan.
Konsekuensi pemahaman tersebut,
dalam pemberdayaan menuntut adanya perubahan kebijakan yakni mengalihposisikan
penduduk di sekitar situs yang semula sebagai objek menjadi subjek. Alih posisi
itu menjadi tantangan bagi penciptaan berbagai kebijakan baru yang menempatkan
penduduk di sekitar situs bukan sebagai pihak yang dikontrol dan dikuasai,
melainkan sebagai mitra yang sejajar. Dari pengertian tersebut, sudah terlihat
bahwa sasaran masyarakat yang diberdayakan adalah masyarakat yang berada di
sekitar wilayah situs. Mengapa masyarakat di sekitar situs perlu diutamakan? masyarakat
dengan warisan budaya seringkali memiliki keterikatan batin yang kuat, sehingga
warisan budaya tersebut merupakan lambang eksistensi, dan peneguhan rasa
kebangsaan, bahkan simbol jati diri mereka. Jati diri adalah hakekat. Apa yang
sebenarnya ada di dalam diri baik yang positif maupun negatif dan hal itu
tercermin di dalam warisan budaya. Namun informasi budaya sebagai lambang jati
diri yang tersembunyi di balik warisan budaya tersebut, tidak dapat diketahui
tanpa ada upaya menggali dan menemukan pengetahuan itu. Di sini letak arti penting arkeologi, sebagai
satu-satunya ilmu yang mampu menerobos ke belakang ke dunia masa lalu.
Membongkar peristiwa masa lalu sekaligus
menyajikannya untuk masyarakat sekarang merupakan kuwajiban arkeolog yang mesti
dilakukan.
Namun dalam faktanya, seringkali
terdengar kritik, bahwa masyarakat di sekitar situs arkeologi cenderung hanya
sebagai objek dalam pengelolaan warisan budaya. Mereka jarang dilibatkan dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan pengambilan keputusan. Secara konkrit, pemikiran
tersebut dapat dijelaskan, bahwa masyarakat di sekitar situs tidak dapat
diabaikan dalam segala kegiatan yang menyangkut keberadaan dan keberlangsungan
warisan budaya disekitarnya. Masyarakat pada hakekatnya merupakan pemilik sah
atas warisan budaya Sementara itu, mereka sebenarnya memiliki kearifan atau
potensi sosial, budaya, politik, maupun ekonomi yang dapat dikembangkan untuk
pelestarian warisan budaya. Potensi tersebut jika dikelola dengan benar bukan
tidak mungkin akan mampu menumbuhkan ketergantungan yang saling menguntungka
antara situs dan masyarakat di sekitarnya. Ketergantungan tersebut diharapkan
mampu menunjukkan korelasi positif atau hubungan timbal balik yang saling
menguntungkan di antara kedua belah pihak, yaitu pihak pemerintah selaku
pengelola yang bertanggung jawab terhadap pelestarian situs dan pihak
masyarakat lokal, selaku pemilik warisan budaya.
Pihak pertama, masyarakat akan
diuntungkan dengan adanya pemanfaatan situs yang mengarah pada kepentingan
ekonomis, sebagai objek pariwisata misalnya. Keterlibatan mereka dalam
aktivitas kepariwisataan secara langsung, akan dapat mendatangkan pendapatan
tambahan atau pendapatan utama yang mampu meningkatkan perekonomian mereka.
Pihak kedua, pemerintah selaku pengelola yang memiliki tanggung jawab
keberadaan warisan budaya, menjadi lebih ringan bebannya dengan tumbuhnya
pemberdayaan yang mengarah pada peningkatan rasa kepemilikan masyarakat
terhadap warisan budaya di sekitarnya. Dampak positif tumbuhnya rasa memiliki
terhadap warisan budaya seperti itu, adalah munculnya kesadaran untuk
“melindungi” dan “menjaga” kelestarian situs. Apabila masyarakat sudah dapat
bertindak sebagai “pelindung” dan “penjaga” situs yang muncul dari kesadaran
sendiri, maka hal tersebut merupakan bentuk upaya perlindungan dan pelestarian
yang paling efektif dan efisien (Prasodjo 2004:3).
Untuk menciptakan hubungan yang
saling menguntungkan, maka perlu dilakukan upaya ke arah terbentuknya kondisi
yang kondusif untuk kedua belah pihak. Menciptakan situasi yang saling
menguntungkan untuk kedua belah pihak tersebut, tidaklah mudah karena arkeologi
tidak dapat bekerja sendiri. Apalagi menjalin kemitraan dengan masyarakat yang
berada di sekitar situs yang rawan konflik. Arkeologi membutuhkan dukungan dari
stakeholders, paling tidak dukungan dari pemerintah daerah setempat. Untuk
memperoleh dukungan tersebut, langkah awal yang diperlukan adalah kesadaran di
kalangan arkeologi sendiri, bahwa masyarakat di sekitar situs memiliki peran
yang sangat penting untuk pelestarian benda cagar budaya. Masyarakat di sekitar
situs tidak dapat diabaikan dari segala kegiatan pengelolaan warisan budaya,
mulai dari penyusunan program, pelaksanaan, dan bahkan evaluasi.
2.3 Strategi Pemberdayaan Arkeologi
Warisan budaya adalah sumber daya
yang perlu dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar situs sebagai objek untuk
meningkatkan kesejahteraannya. Pemahaman ini perlu ditanamkan kepada mereka,
agar menyadari potensi sumber daya di lingkungannya. Dalam konteks itu,
masyarakat tidak hanya diarahkan pada kemajuan secara fisik atau materi,
melainkan lebih penting pada perkembangan non materi. Dengan demikian,
pemberdayaan tidak hanya memerlukan sumber daya manusia, modal, ataupun sarana,
tetapi juga memerlukan nilai-nilai yang membimbing dan mengarahkan orientasi
perubahan akan dilakukan.
Pada
dasarnya, terdapat perbedaan antara pemberdayaan dengan pembinaan. Pembinaan
ada kecenderungan intervensi dari pihak luar, bahkan inisiatif dan kebijakan
sangat ditentukan oleh pihak luar dan sesuai dengan keinginannya, sehingga
posisi masyarakat hanya dianggap sebagai objek. Berbeda dengan pengertian
tersebut, pemberdayaan adalah proses dari, oleh dan untuk masyarakat.
Masyarakat di sekitar situs, perlu dibantu, didampingi, dan difasilitasi agar
berdaya dalam mengelola berbagai potensi sumber daya yang dimiliki. Dengan
demikian, tujuan pemberdayaan adalah kemandirian, yaitu memampukan masyarakat
di sekitar situs agar dapat mengaktualisasikan diri dalam pengelolaan sumber
daya dan memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri, tanpa ketergantungan
dengan pihak-pihak lain.
Dalam
kerangka pemikiran tersebut, Kartasasmita, (1995:19) menjelaskan upaya
memberdayakan masyarakat, dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu:
Pertama,
menciptakan suasana yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang . Setiap
masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada
masyarakat yang sama sekali tanpa kemampuan atau kekuatan. Pemberdayaan adalah,
upaya untuk membangun kemampuan atau kekuatan tersebut, dengan mendorong,
memotivasi, dan membangkitkan kesadaran potensi yang dimilikinya serta berupaya
untuk mengembangkannya. Dengan demikian, kekuatan atau kemampuan tesembunyi
yang dimiliki oleh masyarakat yang akan diberdayakan terlebih dahulu harus
dipetakan. Pemetaan atau identitfikasi terhadap potensi tersebut sangat penting
sebagai dasar melangkah untuk menentukan program pemberdayaan.
Kedua,
memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat. Dalam rangka ini,
diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain menciptakan suasana yang
kondusif. Penguatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut
penyediaan berbagai masukan serta pembuka akses dalam berbagai peluang yang
akan membuat masyarakat menjadi lebih berdaya. Untuk itu, perlu ada program
khusus untuk masyarakat yang kurang berdaya, karena program-program umum yang
berlaku untuk semua, tidak selalu dapat menyentuh lapisan masyarakat ini,
seperti tersedianya lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan, dan lapangan kerja.
Ketiga,
memberdayakan rakyat dalam arti melindungi dan membela kepentingan masyarakat
lemah. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah jangan sampai yang lemah semakin
termarginalkan dalam menghadapi penguasa. Oleh karena itu, perlindungan dan
keberpihakan kepada yang lemah sangat mendasar sifatnya dalam konsep
pemberdayaan rakyat. Melindungi dan membela harus dilihat sebagai upaya untuk
mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang dan eksploitasi atas yang
lemah.
Dari
pandangan tersebut, diperoleh gambaran bahwa pemberdayaan tidak dapat dilakukan
secara parsial, melainkan diperlukan strategi pendekatan yang menyeluruh. Dalam
hal ini, arkeolog tidak dapat bekerja sendiri, karena upaya pemberdayaan selalu
melibatkan berbagai disiplin ilmu. Di samping itu, upaya ini perlu melibatkan
inisiatif dari berbagai pihak, karena lembaga arkeologi tidak mungkin dapat
berjalan sendiri tanpa dukungan dari stakeholders khususnya keberadaan dan
peranan Pemerintah Daerah dan Organisasi Non-pemerintah sebagai agen perubahan (agents of change).
Paling
tidak terdapat tiga strategi dasar, yang harus dilakukan sebelum bertindak
melakukan pemberdayaan masyarakat yang berada di sekitar situs wilayah cagar
budaya.
Pertama
yang harus diperhatikan dalam konsep pemberdayaan adalah, bahwa masyarakat
tidak dijadikan objek, tetapi merupakan subjek dari upaya pembangunannya
sendiri. Berdasarkan konsep demikian, pentingnya menciptakan pendekatan yang
terarah. Program ditujukan langsung kepada yang memerlukan, dengan terlebih
dahulu dirancang untuk mengatasi permasalahan sesuai dengan kebutuhannya. Dalam
mengikutsertakan masyarakat yang akan dibantu mempunyai beberapa tujuan, antara
lain agar mereka mau membantu dalam upaya pelestarian warisan budaya di
sekitarnya. Oleh karena itu, sebaiknya, program diarahkan pada konteks upaya
pelestarian warisan budaya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kedua,
harus ditemukan terlebih dahulu permasalahan dasar yang dihadapi oleh
masyarakat dengan keberadaan situs di sekitarnya. Identifikasi permasalahan
dasar yang ada pada mereka sangat penting dilakukan, guna menentukan langkah
perencanaan dan penerapan pelaksanaan program pemberdayaan (Rudito, 2004). Pada
umumnya, permasalahan masyarakat di wilayah cagar budaya adalah benturan
kepentingan terhadap pemanfaatan sumber daya arkeologi. Benturan atau konflik
kepentingan tersebut, biasanya disebabkan oleh perbedaan dalam memaknai warisan
budaya, di samping beberapa faktor pendukung lainnya di setiap situs, karena
setiap daerah memiliki permasalahan yang berbeda.
Ketiga,
melakukan pemetaan terhadap potensi yang dimiliki oleh masyarakat yang
bersangkutan. Potensi ini penting sekali diketahui, guna menemukan
langkah-langkah pemberdayaan pada sektor-sektor tertentu yang sebenarnya
merupakan kekuatan tersembunyi bagi masyarakat yang bersangkutan. Potensi
lingkungan ataupun potensi kemampuan sumber daya manusia itu merupakan modal
dasar yang harus ditemukan terlebih dahulu, di samping pemahaman terhadap modal
sosial masyarakat yang bersangkutan.
Keempat,
dalam implementasi selanjutnya, proses pemberdayaan harus didampingi oleh tim
fasilitator yang bersifat mutidisiplin sesuai dengan kebutuhan. Peran tim
pendamping ini pada awal proses sangat aktif, tetapi secara bertahap akan
berkurang dan berhenti, jika masyarakat sudah dapat melanjutkan kegiatannya
secara mandiri.
Dalam
setiap komunitas sudah pasti memiliki nilai-nilai, institusi-institusi, dan
mekanisme sosial yang memungkinkan terjadinya hubungan sosial dan kerjasama
yang dilandasi rasa saling percaya di luar ataupun di dalam kelompok sosialnya.
Jalinan antara nilai-nilai, institusi-institusi, dan mekanisme sosial itulah
yang sering disebut modal sosial. Modal sosial sangat terkait dengan organisasi
sosial, ikatan atau hubungan sosial, norma ataupun kepercayaan yang memfasilitasi
koordinasi dan kerjasama untuk kepentingan bersama. Dengan demikian, modal
sosial yang dimiliki (oleh masyarakat di sekitar situs), merupakan peran paling
penting untuk warga masyarakat untuk lebih peduli terhadap kepentingan bersama
karena perlindungan situs arkeologi merupakan bagian dari Identitas dan
Jatidiri Bangsa.
BAB III
KESIMPULAN
Arkeologi sebagai identitas dan jati diri bangsa tidak saja
bertujuan untuk mengangkat derajat bangsa, tetapi juga membentengi diri
terhadap efek globalisasi sehingga Indonesia tidak dihegemoni oleh imperialisme
modern. Pada tahap ini, arkeologi sebagai ilmu budaya harus melakukan
introspeksi dan reorientasi.
Pemanfaatan Cagar Budaya diarahkan pada peningkatan partisipasi
masyarakat secara aktif, karena perubahan paradigma mengenai Cagar Budaya itu
sendiri, dimana pemilik syah dari Cagar Budaya adalah masyarakat. Oleh karena
itu pelibatan masyarakat menjadi hal yang penting dilakukan dalam pemanfaatan
Cagar Budaya.
Sudah saatnya pemerintah berperan sebagai fasilitator dalam
pengelolaan dan pemanfaatan Cagar Budaya untuk membantu masyarakat dalam proses
pemaknaan atau pemanfaatan Cagar Budaya itu. Para pengelola Cagar Budaya dari
unsur pemerintah dapat memberikan masukan-masukan sesuai dengan keahlian dan
pengetahuan, sehingga masyarakat dapat menentukan pilihan mereka sendiri dengan
tepat.
Kearifan budaya nenek moyang saat ini disadari bahwa banyak hal
yang sudah sangat maju dan lebih berkualitas. Namun banyak aktivitas atau
tindakan sehari – hari masyarakat yang merupakan kearifan tradisional terbukti
efektif sebagai metode konservasi yang efektif dan aman serta lebih ramah
lingkungan.
Arkeologi Indonesia harus mengungkap nilai-nilai yang terkandung
dibalik sumberdaya arkeologi. Tugas arkeologi kemudian menjadi penerjemah atau
interpreter budaya masa lampau versi masa kini, dengan kata lain bahwa
pengetahuan arkeologi harus dilihat sebagai produk sosial masa kini. Sumberdaya
arkeologi harus diinterpretasi berdasarkan konteks sosial masyarakat dan
politik dewasa ini.
DAFTAR PUSTAKA
Mahmud,
M. Irfan., dan Zubair Mas’ud. 2012. Warisan Sumberdaya Arkelogi dan
Pembangunan. Yogyakarta : Ombak.
Said,
Andi Muhammad. 2013. Refleksi 100 Tahun Lembaga Purbakala Makassar
1913-2013: Pengelolaan Pelestarian Cagar Budaya. Makassar : Direktorat
Jenderal Kebudayaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar